Jam weeker di samping monitor computer milik manusia bernama dia bercerita tentang angka 21.05 WIB. Setutur dengan jam di Hpnya, pikirnya. Beberapa menit lalu, habis sudah ia bercanda dengan gadisnya via HP. Lucu juga gadis ini, pikirnya. Muda, rona lagi pesona gadis ini punya. Hehe..
Namun, dalam pejamnya dibalik dekapan bedcover usang, ia kembali mengikat fantasi dalam realita silam. Ia sedikit banyak telah khianati gadisnya yang bukan gadisnya ini ketika teringat sebongkah rasa sebesar buah Delima, bagi se Delima di masa mula.
***
Ini bukan Historiografy atau Biografity Tiusman, betapapun serupa. Ini hanya pecahan darinya yang sama sekali pertikular. Saking rumitnya, engganlah penulis menyisipkannya dalam Biografity.
______________________
Settingnya masih di salah satu dari sekian pondok pesantren yang pernah disinggahinya tatkala ia bergelut dengan kitab pitak. Baitul Arqom, namanya. Waktu ini terjadi, ia lagi meniti tahun keduanya di sana. Tepatnya, awal tahun kedua; di kelas bernama IPA, tempatnya dijumpakan oleh qodrat dengan Delima.
………Baik, ini semua dimulai dari wacana. Di masa yang serba jiwa meremaja, identitas tiap satu dihianati setiap manusia penghuni Arqom sini. Maksudnya, mereka membangkangi identitas diri sendiri untuk bisa diterima hukum social kebanyakan yang tengah berlaku di sana. Seolah menjadi “seseorang yang lain” demi dapat diterima di suatu komunitas. Dia, yang sedikitnya mengetahui tentang ini belajar mengusung panji idealis, meski gagal juga di tataran praktisnya. Misalnya saja, di tunas pubertas seperti masa SMA kebanyakan, “mata belanja perempuan” sudah terasa nyaris haram jika tak ada di bincangan mereka. Bahkan brand “tak-normal”-pun tak segan dilempar kepada muka mereka yang seperti enggan mewacanakan jajanan perempuannya. Intina mah.. ngeceng teh fardu aen we lah.. “tak seperti kami, berarti asing, berarti tak termasuk KAMI”, bunyi hukum rimbanya.
Tapi sebagaimana dipedar dalam Biografity, psikis dia terlalu ditahtai tasawuf di ini masa. Ia terlanjur dikenalkan dengan Rabi’ah Al-Adawiah dan Abu Dzar Al-Ghifary oleh kakak perempuan dan Ketua Kobongnya; tentang dimensi dengan mode nafi-menafikan dunia, jaya, angka, dan wanita.
Meski begitu, mode sufi-nya tak sekalipun menjamah ideologi Al-Hikam. Ia memilih berkilah selayak Kalam-nya Murji’ah meski ia fundamentalis Asy’ary. Ia masih ikut tuntutan lingkungannya dengan ro’y dan dzaoq yang mengusung titah idealism. Maksudnya, dalam kancah realita, ia tak benar-benar menafikan semua. Ia masih bisa bersapa dengan dunia, juga sedikit membincang perempuan, meski dusta lisannya berkata.
Biasanya, yang dibincang pria-pria di sana berputar tentang rona, pesona, lalu tentang daya pengikat libido pria; tentang elok si pemilik tubuh jelita. Bagi santri Arqom yang notabene hidup dalam “trend-isolasi” di tahun pertama, bincangan itu masih beraroma utopia. Tak pernah benar-benar nyata hingga masuk jenjang kelas II. Ini bisa terjadi karena sekat telah terbuka dengan adanya penggabungan pria-perempuan sana sebagai konsekuensi penjurusan IAI, IPS dan IPA.
Beberapa nama mulai santer terdengar karena elok, berparas gempita, atau karena cerdas-nya mereka. Bagi dia yang korban dogma dan hegemoni tasawuf ini, itu tak pernah benar-benar menarik. Pasalnya ia rasa, ia pun si penggenggam angka, piala dan bahasa guru di masa lewat. Lagi, pesona ia kala itu masih terpaut pada “Icha”, gadis berlesung pipit di kampungnya. Jadi, bincangan tentang perempuan tak pernah sekalipun merubuhkan ta’dhim manutnya pada nidham Arqom..
Di kelasnya yang bercampur kini, ia masih tak cukup berminat melirik perempuan. Basi, lagi pencakar jiwa, ia kata. Sesekali, tanpa sengaja ia beradu tatap dengan beberapa perempuan yang agaknya tak bisa diam. Seperti mereka yang pencari kesan! Entahlah tentang kesan.. toh baginya yang idealis pun, individu-individu selainnya menilainya sebagai “pencari kesan”, meski mati-matian dibantahnya. Fenomena dalam setting social seperti itu memang biasanya berdampak tiap satu saling curiga. Hehe.. dasar budak ngora!..
Lagi, di masa ini, masih urung juga ia memakai alat bantu visualnya meski otot lensa matanya makin rusak! Maka tak sangguplah ia rekam jelas sketsa paras satu-satu dari para kawan perempuannya. Jangankan kelas di jurusan lain, kelas sendiri saja tak ia hafal seluruh.. buram, jek!
::::Tentang kaca_dan Pencari Pesona::::
Ada satu bagian dari penjamuan hidup manusia bernama dia ini di Arqom yang paling diketawainya di masa sekarang setelah ia berkenalan dengan filsafat. Yang dalam ranah [Prinsipium Identitas]-nya mantiq, ini di bantai habis-habisan. Yaitu tentang [laku-laku bantah pada pencarian pesona].. hehe.. gujrud, yan!
Dahulu, bisa dibilang Ia gagal membumikan idealismenya pada tingkah sendiri. Ia terlalu mengusung stigma social berkawannya; demi bantahnya pada gelar “pencari pesona”. Pilihannya jatuh pada dogmatism serupa Immanuel Kant, Fichte bilang. Terlalu dibencinya peristiwa akreditasi sekolahnya tempo itu, yang meski bukan maunya, betapa ia sesali dan ludahi. Mungkin, ini serupa apa yang dikata Al-Mutanabi bahwa “seorang yang ber[otak] biasanya menderita karena otaknya”. Hahaha… pohara blaguuu.., maneeeh!.. bae, we.. da moal aya nu maca ieuh..
Kembali ke masalah kaca..
Padahal, dari masanya di MTs mula, ia sudah mengaduh pada bapaknya tentangnya yang tak bisa membedakan IIII dan IIIII dari jauh. Juga tentang cl dan d. atau tentang […] dan [….]. Di kelas VIII-nya saja, mata kirinya sudah -1 ¼. Entahlah yang kanan.. da lupa si akunyah. Tapi yang jelas, masih di bawah kiri asana mah. Namun, disuguhi kaca oleh bapaknya pun, ia tolak demi laku bantahnya pada gelar “pencari pesona”. Apalagi, baginya yang tengah booming kala itu di sekolah MTs-nya ini, kaca bisa saja seolah mempermanentkan dirinya sebagai _Aku-lah si-pemangsa angka, piala, dan bahasa guru-gurunya. Paradigma masyarakat Indonesia kebanyakan memang seolah sudah mentok pada anggapan bahwa yang berkacamata = pintar. Jargon macam apa, itu? Lagi itu, bukan maunya, dirasa. “mungkin nanti saja jikaku mulai dunia baru di dunia SMA”, tukasnya pada bapak.
2 sampai 3 Bulan pertama setelah ia mantap menyanding Arqom ini sebagai tempatnya berstatus MA, ia kembali diajak sang bapak periksa mata, akibat makin buram pandangannya. Benar saja, angka -2 sudah bersemahyam kini di mata kirinya. Kanannya ikut-ikutan bersandar di angka -1 ½, silindris pula. Tapi sekali lagi, lagi-lagi ia tolak kaca yang terkesan ribet baginya ini, juga dengan asas laku bantahnya pada gelar “pencari pesona”. Memang pada nyatanya, beban minus selevel ini masih cukup terlihat apa yang perlu dilihatnya.
Ditambah lagi, pamornya di kelas sepuluh yang berani ia mendebat gurunya sendiri sering disamakan dengan siswi di kelas X lain karena kritis dan berani angkat bicaranya, katanya. Akh..! muak juga ia disama-samakan! Apalagi katanya, si-‘yang dibanding-bandingkan” dengannya ini berkacamata, pemilik pesona lagi anak kamar saudara perempuannya di asrama. Disanding guru dengan perbandingan-perbandingan macam ini, makin bikin dia makin berang, bukan senang. Tak ada konsepsi takhalli, tahalli dan tajalli dalam tasawuf yang diembannya. Entah tasawuf macam apa pula yang tengah diusung ia. Ditambah jika iya ia sematkan kaca di daun telinganya.. persamaan macam apa lagi yang bakal ia terima?..
Tapi kemudian, kebaikan tanpa kaca ini diamininya. Ini semua ada pada pada dustanya pada mata yang belanja, juga penistaan berwujud kufur pada sebagian ayat Tuhannya. Ia memang tak tak hendak cicipi rona yang katanya bidadari beterbangan di sana. Apalagi dengan muka yang kian berpaling, maka makin fanatiklah ia. Fahamnya tersumpal dogma, doktrinisasi yang sama sekali buta. Lalu dengan mata buram seperti itu, bagaimana ia fahami angka dibalik balutan kapur? Hehe.. “5 jempol” ia beri pada kawannya [jika ia punya] yang selalu rela beri pinjam bukunya usai mencatat. Overlasting thanks, Mip! Ru!.. naah, terlepas dari itu, ruang di Arqom ini tak seluas apa. Jarak 2 M masih bisa ditangkapnya, meski catatan kawan disampingnya juga yang jadi referen utama. Hehe.. ngamodus pisan!..
Eh..eh.. !!!
Delima-na mana?..
[[[note; dalam membedah ingat, jemari bisa jadi terlalu autis bernostalgia, trnyata.. hehe..]]]
Baik, sekali lagi; dengan penglihatan maha terbatasnya, kawan perempuannya waktu itu, yaaa.. buram saja! Maka hanya beberapa saja yang dikenalnya. Itupun yang tergolong hyperactive. Yang terdiam dan pendiam, ke laut we !..
Beberapa yang terlihat itu, diakuinya pemilik rona memang cantik. Para pemuda pembincangnya “ripuh ngagalujrud” bersama libido masing-masing di kobongnya. Untung, mungkin bagi dia yang ditanami ta’dhimunnidhom atas ma’hadnya, sehingga terjauhlah ia dari ritual tadi. Hanya saja, di kelas ini ada satu perempuan yang paling sering dipandanginya dari belakang. Mau bagaimana lagi? Dia ini penyalin catatan di papan depan!?.. mau tak mau, terlihat juga tingkahnya meski tak melingkup. Namanya… Delima.
Ditelaah jauh, tak seperti yang lain, ini perempuan terlihat pendiam tak banyak gaya. Namun hingga sekarang, mukanya tak pernah jelas dilihatnya. Entah ber-rona, entah tidak. Lagi, meski benar ia tampil paling sering, menghadapnya ini yang melulu ke papan depan.
Satu waktu, pernah angin menyibak keras menggedor kelasnya yang memang tak berpintu. Si perempuan ini, yang lagi menyalin di papan ini sigap mundur dari tahtanya. Lalu, “dia” yang juga kebetulan berpunya jabatan sama dengan Delima; sebagai “sekertaris kelas”, dijurungi kawannya yang sisa buat naik podium penyalinan. Sialnya, ia tak bisa menulis di datar yang vertical. Sendinya masih ngilu, sampai urung saja ia maju. __Ini mungkin awal lahirnya aura. Ia terkagum pada si perempuan yang meletakkan auratnya di poros yang aly; di tengah kancah pergulatan pendobrakan serba pesona para perempuan di sana. .. “ternyata, ada, ya, pesona aura? Tadinya dia kira, pesona hanya milik rona dan jelita!?..”
………
Dia, yang biasa membanyolkan bincangan tentang pesona, lagi nyaris tak pernah membuka wacana, di malamnya bikin heboh. Tanpa sadarnya, ia mewacanakan pesona aura si penyalin papan. Separuh kawannya yang ada menganehkan dia, hingga lahir juga candaan baru baginya, yang baru kali ini membuka wacana. Maka dimalui-lah, ia.
Konyol, memang kawan-kawannya ini. Terhitung saja, yang dibincang ini, dia sama sekali tak tahu muka si penyalin di papan. Bagaimana mungkin bisa instan begitu dibilang suka!?.. Pada dasarnya, ia memang suka dengan tingkah protektif tadi. Tapi untuk dibilang suka perorangan, jangan bcanda, jek!.. wacana candaan ini hanya mengudara dalam hitungan menit, dilupakan, lalu hilang terbang.
Tentang rona paras para kawan perempuannya, ia tak ambil ribet dengan menjejali hipotalamusnya dengan Tanya-tanya penasaran aneh. Lagi, masih saja ia berspekulan, masih lebih istimewa rona Icha. Di sisi lain, baginya, yang tak ber-rupa cakap-pun, pesona pria itu tak hanya diambil dari muka dan materi belaka, tapi juga ada pada sikap dan brainware berwujud celebrum di balik tempurung kepalanya. Paling tidak, ini pernah ia buktikan dengan dipesonakannya Icha olehnya. Sekarang, buat dia yang nebeng kepada panji Abu Dzar Al-Ghifary, yang sudah mah sikapnya tak pernah terlihat akibat nidham penyekat, tidak elok bermuka, lagi belajar menafikan angka, mana mungkin ada pesona lahir dari ranah bincangan para perempuan sana?.. “Jadi, ya… seperti tak mencari lagi serasa tak mungkin dicari. Nothing to lose, toh?.. “
…….
Sekitar 1 Bulan sebelum pindahnya ia ke Cikalama, sempat kembali ada wacana mengemuka. Kali ini, dalam forum lebih terbuka; canda satu angkatan dengan pembicaraan sacral; tentang pembentukan kepengurusan baru. Dia, yang kala itu sama sekali tak ada yang tau ikhwal kepindahannya, dicalonkan jadi 1 diantara 5 kandidat Rois Amm (2 kandidat dari santri baru [termasuk dia] dan 3 kandidat dari santri lama). Tinggi juga, apresiasi mereka padanya. Padahal belum lama, kandidat Caketos juga disematkan baginya sebelum ditolaknya. Tak bisa dipungkiri, pengalaman memang modal daya seseorang yang paling instan untuk mendobrak pamor dalam berorganisasi. Padahal mah.. teu sataik kuku-kuku acan. Hehe.. topeng yang ampuh!..
Sikapnya; lagi-lagi ia tolak sematan para kawan-kawannya tadi. Merasa disepelei, para kawannya mengambil hentakan. Dengan desakan yang tak masuk akal dari kubu kawan sendiri, akhirnya ia angkat bicara perihal penghendakan penujuannya ke Cikalama, sebagai alasan penghianatan kepercayaan kawan-kawannya sendiri. Gerah ia belajar bahasa saja yang disintegrative dengan kemampuan yang mumpuni dalam menaklukan bahasa di kitab kuning. Lagi, penistaan nidham saja yang berserakan. Meski begitu, ia-lah si makhluk otodidaktis. Laku mandiri ini juga-lah yang menjadikannya melangkahi kawan sendiri di fan alat, khususnya.
Menempuh pergulatan panjang 1,5 tahun di sini bukan tanpa hasil sama sekali. Dengan carut marutnya pergantian system di masa angkatannya, ia masih bisa mengembangkan senyum lebar akibat dikenalkannya ia dengan ‘amiah, meski dirasa ia lebih “mendapat” itu dari kakak perempuannya yang juga alumni sana. Ya, bukan tak ada sama sekali, hanya saja tak semaksimal apa yang bisa ia dapat ditempat lain. Maka dengan bulat, dibidiklah dimensi salafy alat Cikalama, yang merupakan ma’had berkharisma langit sebagai ma’had salaf pertama di daratan kita. Otodidaknya di alat, tak ia imbangi dengan perhatiannya pada sekolah yang kian tertinggal jauh ia dari dunia luar. Maka tak hanya salaf, sekolah umum-pun diambilnya di daerah Sumedang sana nantinya.
Selesai rapat ini, sedikit gurau kembali mekar dikamarnya. Di sini, kembali segelintir santri lama sana berbuat onar dengan banyolan konyol pengikat penjolian; taksir-menaksir kecocokan watak di tiap pria dan perempuan di angkatan dia. Dalam jumlah yang berlipat di kubu perempuan, tentu saja tiap si pria sana seolah mendapat “jatah” dalam kerangkeng cermin perwatakan. Maka makin terbahak-lah tiap pria sana akibat malu, bingung, GR, Keki, atau senangnya. Tak dinyana,.. dia disandingkan dengan Delima yang entah dimana samanya. “akh.. amat konyol!!”, pikirnya. Gerah juga, ia disanding-sandingkan seperti tadi. Tapi berhubung candaan, semua toh sah-sah saja..
Hari-hari akhir di sana dilaluinya kalut. Sendu juga, tenyata hendak melepas ritual, suasana dan lingkungan bersama kawannya. Di hari akhirnya, ia mulai membuka senyum kepada kawan-kawn perempuannya di IPA, meski masih saja buram paras mereka. Pasalnya ternyata, banyak juga perempuan di sana yang memvonisnya sebagai si “tenggadah” akibat dinginnya ia. ”Ah, terlalu instan saja mereka jadi penghakim! Seperti saja tau betul “watak absolute”-ku..”, pikirnya.
Di awali dari momentum ini, ia mulai tersadar pula tentang rona yang memang bisa dikata cantik, jika dikaji mata. Haha.. pesona rona! Juga Delima ia lirik, namun tak ia dapati muka dengan alibi klasik; yang dihadapnya melulu papan depan. Lalu, bersama sadarnya ini apa ada yang disuka? Ah, tak Nampak kesungguhan pesona. Masih baik Ica, yakinnya.
…
:::Cikalama – PGRI:::
Sekali lagi, penulis kata: ini bukan Historiografi atau Biografity, meski selayak autobiography. Maka tak dibedah pula dinamitransisi Filsafat Identitasnya dari hegemoni tasawuf ngawurnya di Arqom ke Cikalama. Yang jelas, di sini ia mulai belajar lebih bijak tentang apa itu tasawuf, maka ditunggangilah lokomotif konsepsi tasawuf factual. Dampaknya, di Cikalama dan PGRI ini ia kembali membuka senyum pada setiap perempuan yang dikenalnya di sana. Mencoba lebih ramah, dan ternyata berhasil-lah ia membaur dengan mereka, hampir dengan semua. Dengan bantuan kaca yang sedari mula ia sematkan, disadari pula-lah tentang ayu-nya semesta ayat-ayat Tuhannya. Gilanya, mata kirinya ini sudah membusuk di angka -2 ¼. {hahaha.. Jangan Tanya berapa nilai minus matanya sekarang waktu dia nulis note ini}. Dengan tataran prinsip-prinsip mantiq sub identitas inilah, baru disadarinya tentang betapa tolol cara tafsirnya atas hidup. Ia siksa mata yang memang milik Tuhannya ini akibat laku bantah yang betapa kanak-kanak. Tapi juga tak ada yang salah, toh semua manusia mendewasa menjadi sebuah lelaki dengan jalannya sendiri-sendiri. Di sini menguak isu tentang “adi-qodrat”, sesuatu yang membentuknya entah jadi “santri” macam apa. Lagi, dengan kelas yang sebesar kandangnya kandang, makin keoklah si “santri adi-qodrat” ini tanpa si kaca.
Seolah lapar nyaris mati dari buka puasanya, 1 ½ tahun bagai holoo di Arqom buatnya menggila, di sini kini. Dua instansi ini jadi saksinya yang ia lampaui klimaks penggenggaman angka, piala dan bahasa guru-gurunya melebihi pamor apa yang ia tingkahi di MTs-nya dulu. Di Cikalama, tak tanggung-tanggung, ia bidik alat sebagai rivalnya. Hasilnya, kurang dari 1 ½ tahun setelahnya, telah habis ia lumat sang 1000 bait empat kali, meski tak sejalan dengan ngirab dan ngilalnya yang sama sekali terbata. Tak hanya alat, Fiqh juga berkisah tentang kitab semrawut akibat syarah yang penuh terlalu. Beberapa fan lain juga ia tanak disana. Setidaknya, ini kesungguhan implikasi dari ia yang enggan kembali telan pil keliru atas tafsir spekulatif. Tak berhenti dalam kajian kitab pitak, al-Bisyarah-nya Balukia Syakir-pun dikajinya dalam bentuk sorogan. Ini bertutur tentang ritual-ritual semisal ziarah, tawasul, peringatan HBI, dan segalanya berdasar pertanggungjawaban Teologis dan Filosofisnya. Tanpa sadar, ia mulai bermain–main dengan mantiq, di sini. Tampaknya, pilihannya di dunia salaf ini tepat. Bahkan, hingga detik [sekarang] penulis bikin ini note-pun, Cikalama tetap _Ya’lu wala yu’la alaih_ dalam barisan ma’had-ma’had salafy alat yang pernah ia satroni, meski hampir saja Salaf Cikancung serupa dengannya.
Tak hanya dalam menempa agama, ia juga kembali menggila di SMA. Seperti ia yang seolah menemukan “jiwa” gaya bertarungnya sebagai dia-lah pemangsa angka, piala dan bahasa gurunya. Jawara-jawara yang melulu mendominasi bertengger lama di sana, ia tumbangkan untuk selanjutnya ia tinggalkan jauh di belakang. Gila, mungkin. Ambil saja tamsilannya di event Lomba Cerdas Tepat Matematika (LCTM) antar SMU se-Sumedang di Universitas Sebelas April (UNSAP). Ia si murid pindahan “dari MA (yang notabene berkajikan sains tak sebesar apa)” ini, seenaknya saja melenggang mewakili sekolahnya. Puncaknya terjadi pada ajang Olympiade Sains, Ia mewakili divisi se-bergengsi Fisika. Meski tak bergelar juara, rankingnya yang mecundangi sekolah sebesar Al-Ma’soem, menjadikannya sebagai penempat ranking SMU swasta beranking tertinggi di Sumedang dengan urutan 9 dari 72 SMU se-Sumedang di bidang Fisika. Dengan setting sosialnya yang ialah sebagai “santri tunggal” yang berdiam di kelas ini, tentu saja bikin rival-rivalnya ini mati keheranan. Apalagi PGRI ini bukan sama sekali sekolah seelit apa, yang bermutukan pendidikan. Tak ada yang mengerti betul otodidak macam apa yang diperbuatnya. Lagi, seolah instan sekali manusia ini mencuri bincangan dan senyuman para penduduk sekolahnya beserta guru-gurunya. Maka tak hanya dicemburui, ia kini juga terima sandangan gelar pencari pesona lalu di benci. Hehe.. namun ialah sang filsuf idealis kecil yang tak serapuh pohon usang yang tumbang nanti malam, kini. Tanpa ada yang dirasa salah, ia santai saja melenggang tanpa kembali “menuntut penghukuman yang layak” baginya. Toh sebagai idealis, kebenaran tak terdapat di luar. Ia tak mau terlalu ambil peduli tentang penghukuman dari luar tentang apapun yang baginya kini.
Pamornya yang kian mengudara tak berhenti di SMU. Tempatnya singgah di Cikalama-pun, sedikit banyak terusik juga telinga penghuninya. Naaah.. berhubung entri ini bergumul tentang perempuan, maka yang dipedar tentu berputar pada sensasi suka-menyuka. Sebagaimana ia, sedikit demi sedikit namanya mengguratkan selengkung senyuman di rona milik beberapa hawa di sana. “Hehe.. GRna kamalinaan, maneeeh!!...”
Namun siapa sangka, di masa peralihan kelas dari XI ke XII, sebongkah duka bersemahyam di iga-nya tatkala ia tau, si pesona; Icha, bersama keluarganya dan rumahnya pindah, beralih, beranjak dari Majalaya menuju entah kemana. Menyesal sekali ia tak sempat menyapa berapa nomor teleponnya. Menyesal sekali ia tak sempat membalas senyum Ica yang betapa teduh kepadanya. Menyesal sekali ia tak sempat berlaku apapun yang menjabari betapa gila ia sukainya…
….
Kalut yang terlalu membuatnya mengamuk di Cikalama di masa liburan. Demi menuai lupa derita, Ia berevolusi menjadi si makin penggila otodidak dan sorogan. Untuk beberapa saat, ini bisa dibilang berhasil juga, sebelum ia bertemu dengan pesona yang lain. Sebut saja namanya ‘Na.
‘Na ini menjadi pautnya disekian masa, meski hanya sekedar rebound atas kalutnya pada Icha, meski juga padahal pesona ‘Na bertahta sedikit di atas Icha. Tapi tetap saja seperti biasa, tak pernah sekalipun ia sanding pesona-pesona ini, baik Ica ataupun ‘Na. jika dipikir lagi, ia ini cukup jahat dengan menyeolahkan para pesonanya [yang betapa mempesona ini] bertepuk sebelah tangan sukanya. Munafik, memang. So’ kegantengan, padahal gantengpun ia tak punya. Ia sendiri belum mendapat argument filosofis secara utuh tentang mengapa ia berlaku sejahat itu. Untuk sementara, alasan klasik masih dirasa bebal dalam prinsipnya; bahwa sampai kapanpun, takkan pernah ada yang namanya “berkasih-islami”. Hanya penistaan, itu namanya. Belum lagi, autisnya pada fan alat dan MIPA, menjadikan orientasinya pada perempuan di urutan yang betapa kesekian. Hanya selingan saja. Tak pernah seperti kawannya yang lain yang mendedikasikan beberapa buah waktu untuk berimaji dengan pesonanya…
…
..huh, cape!..
.
.
.
.
[[[Hehe.. ai di baca ulang mah asa rada kokonyolan oge, ung?..]]]
[rehat, ah.. mulai tunduh, jek! Nya jaba Kopina kari dedek.. deuih??]
Kamar kontrakan, 15 April 2010.
21.05 – 23.13 WIB_Waktu Indosat Barat…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar