pojok

Senin, 24 Mei 2010

pemikullakudiam II

[[[[[Di kursi yang sama, Ketika langit menangisi malam yang melulu sendu merindui gemintang. 16 April 2010. __ 19.47 WIB. ]]]]

Lanjut, jek!..

Lumayan juga, denk! butuh beberapa waktu buat mengulang aktifitas celebrum serupa malam kemarin. Membedah ingat ternyata lebih enak jika sekali saja. Gaya bahasa note kemarin agaknya akan sedikit berbeda dengan note hari ini. Untuk membantu mengingat apa yang telah ku tuliskan, aku bahkan perlu membaca kembali note kemarin. Gilanya, itu butuh waktu yang lebih lama ketimbang ku lumat habis bacaan 2 artikel sekaligus. Gila! Bagaimana jika nanti bikin buku setebal roti bakar? Apa harus dibaca dulu sekuel sebelumnya untuk mendapat atmosfer yang sama dengan ketika menulis sekuel yang sebelumnya? Maka makin tinggilah apresiasiku pada segenap penulis yang bisa konsisten dalam menulis. Dalam menulis mereka tak perlu atmosfer yang sama untuk buat sekuel serupa. Hebat!!..

Di lain sisi, sebetulnya aku tak begitu ambil peduli apa aku ini pantas disebut penulis atau tidak nantinya, tang jelas aku hanya ingin menulis, mengejawantahkan segala imaji trensenden, hanya ingin mengekspresikan beberapa genggam pemikiranku tentang dunia, beberapa pelajaran berharga yang kupungut dari setiap jengkal kelakuan qodrat. Dari guru, dari buku, dari setiap detak waktu. Atau mungkin hanya sekedar melatih melancarkan jemari menari di atas keyboard ini yang baru ku ganti. Tadinya, “Perkisahan Tiusman dan Delima“ ini tak lebih dari sekedar tujuan itu. Tapi ternyata, tantangannya cukup deras dan berbeda. Jika dalam entri yang lain aku menulis sambil berfikir, di entri ini aku menulis sambil membedah ingat.

Setidaknya, rentetan blog-blog yang kubuat ini telah membantuku secara eksplisit untuk mempublikasikan diri pada dunia, bahwa aku si pembelajar menulis. Tulisan-tulisan ini terus mengudara saat aku rajin menulis, saat malas menulis, saat benci menulis, saat gila menulis, saat tulisanku bagus, atau bahkan saat tulisanku bukan apa-apa dibanding sampah eletronik. Lalu, apa tulisan kali ini berupa sampah elektronik?

Masalahnya mungkin bukan tentang berkarakter atau tidak, berkualitas atau tidak, ini semua sampah atau tidak. Kamu tidak menilai tulisanmu sendiri di sini, yan! Yang jelas, walau bagaimanapun, toh tak pernah ada tulisan yang meledak di awal kelahirannya. Masalah utamanya: Menulis, kemudian mempublikasikannya secara massal, harus dengan sebuah landasan pragmatis, bahwa tulisan itu harus membawa banyak perubahan bagi hidup orang lain. Harus ada kebaikan dalam buku-bukuku nanti didalamnya, jika nanti benar dapat ku landingkan sebuah buku. Bukan hanya menjual kertas, tinta, dan lem kemudian merasa bangga karenanya. Bukan seperti itu.

Aku bukan orang yang berpengaruh besar pada apapun. Aku tidak berada di organisasi yang mebuatku berkembang lebih besar. Latar belakangku bukan politisi, bukan pedagang, bukan pembesar. Ayahku tidak terkenal, begitu juga ibuku. Tapi itu semua yang membuatku berpikir independen. Dengan pemikiran-pemikiran murni yang lahir dari kepala rakyat biasa saja di negeri ini, Aku bisa saja membuat buku kapanpun aku mau, mungkin. Tapi bukan itu tujuanku.

“Eh, eh.. kamalinaan deui..”

Ok! Kembali ke tentang perkisahan Tiusman dan Delima.

Sebagai pengingat, tadi siang, sempat aku berfikir untuk tak hanya mendedikasikan satu tulisan bagi satu perempuan saja. Toh disamping “Delima”, baik itu “Icha”, “‘Na”, “‘Tie”, “Lin”, bahkan “Ima” juga punya kisah uniknya sendiri-sendiri, meski perkisahan dengan Delima ini yang paling unik karena setting social yang betapa unik juga. Tapi, da perkisahan dengan “lin” oge unik, ketang? Hehe… Maka selesai ini, hendak lagi kubidik pembedahan ingat dengan perempuan-perempuan pemikul pesona itu, di luar lajur Historiografity seperti perkisahannya “dia” dengan Delima ini.

Baik, pembedahan ingat sesi II dengan ini saya nyatakan…: AKU MULAI!

………

Tok!.. Tok!.. Tok!!..

:::Sebagai ex-Arqom:::

Meski domisilinya telah berpindah ke Cikalama-PGRI, tapi sebenarnya ia tak benar-benar lepas dari Arqom. Lagi, ada anak bibinya yang masuk Arqom sebagai saudara perempuan ke 4 setelah kakak perempuannya; Ecy dan dua anak bibinya; Cani dan Ikok di tahun berikutnya. Anak bibinya ini bernama Gia, si piatu yang kini mendiami MA. Sering kali manusia bernama “dia” yang kini jadi santri non-isolasi ini disuruhi membawakan bekal bagi si Gia. Ditambah, di masa kelas XII nya ini yang serba up-date berita, berpunya ramalan soal UN, lagi berhimpun padanya skematika MIPA dari NURUL FIKRI dan SMU-nya, maka dikunjunginya Arqom untuk dibagikannya itu semua tadi pada kawannya yang meminta.

Pernah satu kali, ia kunjungi Gia, tapi malah 3 perempuan menyertainya. 1 orang dari teman sekelasnya Gia, lalu 2 teman perempuannya dulu di kelas IPA; Boswati dan…. “Delima”. Kaget juga, ia. Buat apa pula 2 teman IPA-nya ini menyapa? Disana, ia akhirnya tau rona Delima, si diam yang penyalin, yang sempat dipenasarinya. Ia berperawakan pendek, putih, lagi berkaca. Untung saja, kebetulan, ia tanggalkan kaca di tasnya sebab “takut terlalu banyak pesona yang tak layak dilihatnya disini”, pikirnya. Dengan itu, sehingga takkan ada persamaan darinya dengan Delima yang bisa saja disama-samakan lagi oleh kawan-kawannya di sana. Mati, sana! Di pertemuan sesingkat putaran jarum merah itu, tak ada bincangan penting, dirasa. Hanya sedikit candaan, dan sedikit banyak bincangan singgungan sesakral UN.

Hari itu, “dia”_yang belum bisa begitu peka akan bahasa aura, tak begitu kuat maunya menghafal rona Delima. Lagi di hari itu, hanya sesekali saja ia beradu pandang dengan Delima. Ia bergumam, “Entahlah.. semua yang namanya santriah ber-DNA Arqom itu seperti punya charisma yang khas yang secara paksa menundukan matanya pada mereka. Bukan karena alasan suka atau apa, tapi ya.. seolah alaminya begitu saja. Betapa tak berani ia dekati mereka seberani ia dekat dengan kawan-kawan perempuan lainnya di tempat-tempat lain. Kunaon, tah?..”

Di pihak kawan-kawan prianya sendiri, sedikit-sedikit, candaan tempo klasik menyemburat ke mukanya. Candaan penjolian silam yang entah apa penyulutnya, kerap kali diwacanakan jika ia berkunjung kawan. Hehe.. mereka tak tau tentang ada, siapa, dan sepesona apa “‘Na“ yang menggilainya di cikalama sana.. (Heheh deui..)

Naah.. awal perkisahan ini ditandai klimaks oleh penulis pada masa pasca kelulusan. Dia kala itu ia tengah mengurus ”birokrasi busuk Indonesia” tentang bidikannya ke Egypt, via “Global Overseas [Keparat]” yang nyaris menipunya. Di masa pasca kelulusan menjelang kepindahannya dari Cikalama dan PGRI seperti ini, ia menerima hujan hadiah dari perempuan-perempuan yang jika dipikir kini, betapa terasa kekanakan, memang. Yang buatnya berjuta aneh, tak hanya di tempatnya bernaung, ia juga dapati hadiah lewat saudaranya Gia, yang asalnya dari teman perempuan satu angkatannya di Arqom. Duga semula, ini mungkin dari temannya bercanda, Boswati. Maka biasa saja, sikapnya. Tapi kemudian duga mula itu dibantah saudarinya. Katanya, ini hadiah jatuhnya dari yang dipesonakannya di Arqom sana.

Bercampur antara bingung dan GR, takdir memuntahkan sensasi berbeda baginya di sini. Pasalnya, baginya yang merasa menanggalkan taring, mana mungkin bisa ia pesonakan perempuan di sana? Apa ini kelakuan parasnya? Ah, dibanding seabreg kawannya yang lain dapat dipastikan ia kalah telak dengan mutlak dan memalukan. Apa Materialis? Akh, mitos saja itu! Lalu karena apa? Dibilang saudara perempuannya ini, ini perempuan yang beri hadiah terlalu mendalam berperasaan bagi ia. “Terlalu menyendu..,” lanjutnya.

Tak seperti hadiah-hadiah lain yang seperti cari sensasi dengan benda berbandrol langit, perempuan ini hanya menghadiahinya sebuah buku saku berisi pertuah-petuah bijak filsuf Al Ghazali. “kumpulan nasihat sepanjang masa”, judulnya bertutur. Untuk beberapa lama, dibuat penasaran juga dia sama ini perempuan. “Siapakah gerangan??..”___[[[“anjirrr, lebayy…!!!”””]]]

Lama kelamaan, didapati juga pengirim buku ini. Tebak siapa dia?.. namanya.. __________“DELIMA”…______________ “Hahahahahaha….!!???”… “Sempit sekali dunia ini!?”.. di ranah Arqom ini, seolah Tuhan menyimpan satu-satunya perempuan bernama Delima ini sebagai satu-satunya perempuan buat sandingnya. Terlalu banyak yang menyandingkannya dengan Delima ini. Sudah itu sama berpikul sekertaris kelas, sama punya kebiasaan menyingkat tulisan-tulisannya semacam [berkata] jadi [b’kata], lalu apalagi? ..Tapi Iya-kah? Mungkin juga tidak, mengingat ini hanya sugesti yang sama sekali instan akibat bentukan lingkungan! Tapi kenapa harus Delima yang jadi pendewa dia? .. padahal disangkanya dia, ini perempuan baik-baik yang tak harus jadi pendewa lawan jenisnya secara berlebih. Lalu, mengapa ini perempuan begitu mendewanya?... apa bagusnya dia, di mata Delima? .. Tak hanya saudarinya yang bercerita tentang Delima yang mendewanya. Kawan candaannya Boswati juga bertutur eksplisit tentang sendu yang terlalu dari Delima yang mendewanya.

Bahasa “pendewa” mungkin bagi khalayak umum terlalu berlebihan ia gunakan sebagai pengganti suka. Tapi baginya, perilaku suka berlebih hingga bermain tangisan segala itu sudah cukup berlebihan setara mendewakan. Bahkan bagi pribadinya, yang betapa sulit menangis di pangkuan Tuhannya, terlalu miris juga jika harus ia kucurkan airmata itu untuk merindui karya Tuhan, bukan Tuhannya. Untung juga mungkin baginya yang tak penah memvonis sukanya pada setiap perempuan yang pernah dikenalnya sebagai ‘ia pendewa’, karena memang ia suka seadanya. Ia meminjam syair pamannya, Iwan Fals, yang berbunyi; “Ia suka perempuannya hari ini, entah besok lusa”. (hehe.. salah redaksi, nya?). Ah, sayang sekali perilaku Delima ini. Andai saja ia suka Tiusman seadanya, maka makin ‘aly jugalah posisi Delima ini bertahta di celebrumnya.

Lalu dalam situasi tak muguh seperti ini, ia kenakan topengnya, berlaku seperti tak ada apa-apa. Candaan kawan prianya ia anggap konyol, serupa di mula. Dengan kepuraannya, tampak ia berhasil sembunyi dari galaunya. Galau; yang berkisah tentang ia yang disamping takjub pada Delima yang suka pada ia bukan dari isi tempurung kepala, paras atau materinya, juga tentang ia yang menyayangkan perilaku perempuan yang dikira manis lakunya ini sebagai pendewa. Lagi, tentang betapa serupa tutur saudarinya dengan kawannya Boswati ini, lalu tentang candaan yang seolah melokomotifkannya dengan Delima ini, apa semacam ada keterselubungan antar kawan, begitu? Ah, betapa mustahil. Tak pernah ada yang tau, hantaman qodrat yang seolah terus-terusan menderu dia. Lagi-lagi Delima, lagi-lagi Delima. Yah.. tapi dengan dusta bernama pura-pura, ia masih bisa hilang sembunyi menuju tak ada di balik muka para kawan-kawannya.

Sampai pada suatu saat, dia-yang masih berlaku seolah tak tau apa-apa, berselang bincang dengan kawannya Boswati; tentang Delima yang betapa meratap. Sikap Delima ini ternyata hampir serupa dengan ia yang seakan munafik, hanya sebatas inginkan dia; {yang dikasihinya} ini tau ia punya sebongkah rasa untuknya, tanpa sedikitpun membayangkan bisa menyandingnya. Entahlah, ini hanya katanya, bukan langsung kata Delima. Iakah Delima ini serupa dengan watak ia dalam koridor suka menyuka? .. berprinsip seolah sama dalam hal menyuka tanpa ingin menyanding, seperti yang dilakui dia?.. bisa, ya, ada wanita yang hamper segala sama? Terlalu sama!.. beneran sama-kah?..

Sejenak, ia pahami juga posisi Delima yang sukainya betapa. Pasti sakit, apalagi dengan sikapnya yang terhitung terlihat dingin pada dia, mungkin. Yang seolah tak mau tau siapa saja yang dipesonakannya. Jahat, bukan? Ini mungkin serupa “Dila”, seorang pendewanya di MTs mula yang pernah berkata terang-terangan dihadapannya yang betapa sakit ia sikapi dingin tanpa menoleh sekedar mengobati perihnya, meski tak menerima salamnya. “Itu terlalu jahat”, lanjut si perempuan ayu ini. Ia juga teringat dosanya pada “Icha”, yang betapa ia sanjung sebagai pesona. Ica, yang betapa menyukanya tanpa sedikitpun senyum mengembang di mukanya bagi Icha. Betapa Kejamnya... Jahat betulan, dia! Bagaimana jika di suatu masa, ia sukai perempuan yang begitu mendinginkannya? [[[di masa jauh setelahnya, Ini terbukti dengan sukanya pada “‘Tie”, yang betapa mengacuhkannya akibat tak mau tau siapa “dia”. Dikiranya tak sakit, didinginkan siapa yang disukanya?? Nah, loo..! ]]].

Akhirnya, sedikit refleksi ini membuatnya lebih bijak menilai Delima. Terlalu bijak, ia malah balik suka juga dengan Delima. Suka pada lakunya, bukan pada wujudnya. Lagi pula, tak ingat sedikitpun ia bagaimana rona Delima ini. Apa lebih berona dibanding Icha dan ‘Na? ah, tampaknya tidak. Masih jauh lebih sempurna Ica dan ‘Na, daripada Delima ini dalam wujud, pikirnya. Tapi jika dibedah kembali, Icha dan ‘Na ini menyukanya karena pamornya ia. Menyukanya karena tau betul pertingkahannya ia. Berbeda dengan Delima yang entah apa yang disuka Delima darinya. Lalu, dengan pencarian dalam kesungguhan, apa yang dicari? Rona-kah, atau pesona-kah? Perlu digarisbawahi pula bahwa kesungguhannya ada pada pernikahan. Maunya dia, ia hanya akan dekati perempuan dengan kedekatan yang sungguh, sebab seriusnya ia. Lagi, disadarinya dalam-dalam bahwa pernikahan itu tak hanya melulu masalah rona. Tak melulu masalah bangganya ia menggandeng istrinya ke hadapan dunia dan berkata “betapa cantiknya istriku, bukan!?”..

Untuk beberapa waktu setelahnya, Delima ini tampaknya bisa ia bandingkan dengan perempuan se-pesona ‘Na. haha.. tapi disandingpun tidak. Hanya berjejal penat di hipotalamusnya saja! Paling tidak, mereka berdua memberi inspirasi berarti buatnya berkarya dengan sabda pena. Hasilnya, puluhan butir sajak bertema acak ia murnikan sebagai anak halal dari persetubuhan pena dengan fillet daging pohon bernama kertas.

…..

:::Aku bukan mahasiswa, tapi santri adi-qodrat:::

Beberapa waktu kemudian, tempurungnya tak lagi dihuni pesona perempuan bernama Delima. Sebagaimana dipedar dalam Biografity, dia ini mendadak jadi manusia serba nomaden di masa ini. Beberapa pesantren disinggahinya dalam waktu yang betapa sekejap. Kegelisahan mengenai hakikat, serupa yang dialami para falaisuf sebelum mantapnya mereka menyanding filsafat, mungkin. Domisilinyapun serupa. Tempatnya menempa ilmu begitu juga. Begitupun tentang perempuan. Hehe.. Di masa ini, ada “Lin”, perempuan ayu yang dikenalnya. Perempuan serba sempurna, putri gurunya. Namun ujung perkisannya terlalu tragis, lalu dibawa mati. Di masa ini, ia lalu memproklamirkan jiwanya sebagai aku-lah “sang; santri adi-qodrat”, si manusia yang di asuh qodrat Tuhannya, yang betapa entah sang qodrat hendak membentuknya jadi apa. Santriadi-qodrat ini pulalah yang menjadi landasan metafilosofisnya membuat “Biografity” sebagai pengcover tingkah sang Qodrat yang menggojloknya habis-habisan menjadi petarung adi-qodrat bahkan sebelum ia berkenalan dengan filsafat. Hingga saat ini, qodrat pulalah yang memperjumpakannya dengan lajur se-ekstreem falaisuf. [[[“Akh, so’ berfilsafat, lu yan!..”]]]

Masa penuh kontemplasi ini mari ditinggalkan saja. Ini masa hanya menjadi hak perogratif Biografity sebagai penulisnya. Intinya, sampailah ia dengan gerbang UIN, satu tahun setelahnya. Inilah UIN, yang betapa tak ia duga bisa menjadi persinggahannya. Inilah UIN, yang menghantarkannya jadi petarung adi-qodrat sesejati falaisuf. Inilah UIN, yang kaitannya dengan perkisahan ini; Delima juga ada di dalamnya.

Ya.. namanya juga perkisahan dengan Delima. Makanya baliknya ke yang itu-itu lagi.

Jauh sebelum ia hendak menyanding UIN sebagai persinggahannya, ia sudah tau lebih dulu tentang Delima yang memang telah bersemahyam di sana sejak tahun sebelumnya. Pernah juga ia bersua dengan kawan-kawan Arqomnya yang lama yang tau ikhwal kepindahannya ke UIN. Tau apa yang dibincang? Selain tentang tindakannya menyanding filsafat yang konon katanya “sesat” itu, candaan beraroma klasik juga menyembur dari lisan-lisan mereka; tentang dia, yang seolah menghampiri Delima. “Adeeeuuuh…!!”…, gurau mereka. Gila, bukan? Bisa, ya, ada candan se-awet itu? Padahal telah lama sekali itu mengejawantah? “Betapa kanaknya…!” …

Merasa bermilik performa jiwa yang jauh lebih idealis, ia mengambil sikap mantap dengan hendaknya berlaku sebiasa dulu, ketika ia berpura-pura tak ada yang terjadi, tak ada yang ia tau tentang Delima yang berperasaan baginya. Ia menghargai bagaimana etika berperasaan Delima, yang pasti merasa kekanakan kini bila teringat masanya yang lalu. Maka, ia pilih berbiasa sikapnya seolah benar-benar tak ada yang ia tahu. Konsep yang sama ketika hendak memulai berfilsafat. Konsep yang sama juga dengan takholli-nya tasawuf. Konsep yang sama, ketika ia senangkan hati “Ima”, yang dilepasnya secara baik-baik.

Selain Delima, ia juga tau bahwa hampir di tiap sekolah yang ia sempat singgahi seabreg kwan-kawan lamanya tinggal pula di UIN ini, kini. Sebut saja, dari mulai kawan-kawannya di kampungnya, di SD, Tarbiatul Athfal, Multazam, Arqom, Cikalama, PGRI, Kalapa Dua, SMAR, SMAN Cimanggung, SMAN 24, Daarut Tauhid, Saiful Hikmat, Syifaaushshuduur, Al-Imarat, hingga Manbaul Huda-pun ada. Tak hanya pria, perempuan pun berjejal kini di tiap tempatnya. Setidaknya, di sini ia tak merasa se-asing ketika ia benaung di bawah payung STIKOM di daratan Dewata. Tinggalkan itu, sekarang penulis soroti bagian kecil dari para kawannya; santriah perempuan asal arqom, kawan-kawan yang seolah tertinggal, kawan-kawan yang tak ia sempat kenal, akibat kesalahannya menelan tafsir spekulan atas tasawuf yang habis-habisan menghegemoninya di Arqom dulu.

Trend-facebook yang lagi membumi kala itu mengenalkannya pada rona kesungguhan tentang kawan-kawan perempuannya di arqom, yang betapa lama ia tak tau. Ia baru tau yang mana-lah kawannya dulu sebenarnya. Itupun tak smua, karena nama yang samar lagi foto mereka yang so’ befilosofi. Tak terlalu jelas. Dari sana pula, ia tau nomor telephon mereka lalu menyanding mereka sebagai kawan. Setidaknya, mencoba untuk ramah. tak hanya lewat facebook, ia juga diberi beberapa nomor telephon beberapa kawan perempuannya yang entah penting atau tidak, oleh si karib; boswati. Juga, nomor Delima ia punya kini.

Namun selaku biasa, ia bertingkah biasa pada Delima, sebiasa ia pada kawannya yang lain, senakal ia pada kawannya yang lain, seguraunya pada kawan-kawannya yang lain. Keakrabannya bersama kawan-kawan yang perempuannya di Arqom ini hanya berhenti di telephon dan facebook saja. Sebenarnya, nyaris tak pernah ia temui rupa realis dari mereka. Dari chating maupun sms, yang dikomentari melulu masalah “dia” yang mereka jastifikasi sebagai si tenggadah, tak pernah menyapa jika berpapas dengan mereka di UIN. Mau bagaimana lagi? Tau yang mana-mereka itu-pun tidak? Lagi-pun jika ia tau, betapa mati gayanya menghampiri mereka nantinya, mungkin. Sepertinya, alasannya masih sama seperti dulu: “Entahlah.. semua yang namanya santriah ber-DNA Arqom itu seperti punya charisma yang khas yang secara paksa menundukan matanya pada mereka. Bukan karena alasan suka atau apa, tapi ya.. seolah alaminya begitu saja. Betapa tak berani ia dekati mereka seberani ia akrabi kawan-kawan perempuan lainnya di tempat-tempat singgahannya yang lain. Kunaon, tah?..”

::::Dipertemukan qodrat:::

Baik, kembali ke Delima. Sedikit catatan, bahwa Delima ini tak punya facebook, akunya. Maka makin tak tahulah-ia ikhwal rona delima itu seperti apa. “Tak punya, sengaja tak punya, atau pura-pura tak punya?” entahlah.. misteri sekali, Delima ini.

Oh, iya. Satu lagi hantaman qodrat menderunya bergemakan Delima. Delima ini menyandang gelar sebagai Mahasiswa Fisika, kini. “Fisika”… yang betapa ia gilai dulu di masa SMU-nya, yang final birahinya pada fisika ini ia tumpahkan di ajang Olympiade Sains Fisika. Bahkan, lebih jauh, sempat ia bidik nadi si Fisika ini di UNPAD. Hahaha.. gila, bukan? Hayoooh…., ah! Apa lagi yang ingin si qodrat ini samakan antaranya dengan manusia bernama Delima!?.. dalam hal lain, dari jalaran kata yang ia dapati dari bahasa Delima di sms, tak terlihat olehnya bahwa Delima ini pernah menyukanya. Delima bersikap sebiasa sikapnya pada Delima. Apa mungkin, ia juga mengusung “ke-pura-pura-an” yang sama? …. Akh! Masa iya, selain dalam suka menyuka, Delima berpsicho- serupa lagi dengan ia? …

Ah,.. duga saja yang menyumpal. Mungkin saja Delima ini telah mendewasa menjadi sebuah wanita. Mungkin saja Delima ini telah melupakan masa kanaknya yang betapa tidak masuk akal menjadi pendewa manusia yang sama sekali tak ia kenali siapa ia. Atau mungkin, Delima ini telah berpaut pada pesona lain yang lebih nyata.

Semoga..

………

Hingga tiba suatu masa, yang betapa masih segar dalam ingatnya. Beberapa waktu kemarin, saat ia mendapat sms [dari Delima] berisi kabar pernikahan ex-wali kelasnya di arqom sana, tanggal 4 April [kemarin].

Untuk beberapa saat, ia tak ambil peduli perihal ini, akibat ia dapati undangan serupa dari kawannya yang lain, yang juga menikah di sumedang sana. Sepertinya, ia tak akan bisa datang ke Arqom dan memilih ke sumedang saja…

Di malam harinya, saat ia online dan berlaku autis dengan 4 blog-nya, ia mendapati sebuah foto yang betapa dipenasarinya di beranda facebook. Foto-foto ini berisi separuh kawannya yang laki dan perempuan di sebuah pernikahan. Dari beberapa comment yang berjejal di bawahnya, ia terka ini pernikahan kawan perempuan satu angkatannya pula di arqom sana, yang betapa ia tak kenali perihal siapa yang menikah ini. Ia sedikit berefleksi kemudian. Atmosfer serupa sudah lama tak ia jumpai, bersama kekonyolan kawan-kawannya di arqom ini. Nyatanya memang, nyaris tak pernah ia jumpai kembali kawan-kawan satu asramanya ini. Lagipula, lama juga ia tak pernah lagi main berkunjung ke kediaman wali kelas __ yang satu angkatan dengan kakak perempuannya di SMUN 11 ini. Haha.. baiklah, semoga ia bisa hadiri kedua acara ini sekaligus…

Dalam waktu yang kian mendekat, tak juga ia dapati kawan-kawan lakinya yang hendak menghadiri walimatul ursy wali kelasnya ini. Alasan kebanyakan, domisilinya yang terlalu berjarak, kini. Lagi di tanggal tua, mana mereka punyai daya buat menghargai jasa angkutannya? Yang mengamini datang ke acara ini terhitung hanya perempuan saja. Akh.. maka hampir urung saja ia datangi ini. Sampai kemudian, akhirnya ada juga kawannya yang hendak menghadiri ini tanpa bersamakan perempuan. Seorang karibnya memilih datang bersama ia, yang juga tak bersamakan perempuan. Apay, namanya. Haha.. memangnya apa yang dimalui jikakah bersama perempuan?.. entahlah.. tanggung saja sepertinya!

…4 April, pun tiba..

Siapa sangka, si qodrat keparat kembali memaksanya mendatangi acara ini bersamakan perempuan, meski bukan begitu rencananya di mula! Akh, sialan!!! Juga berbohong saja, si Apay ini! Selayak duganya, ia mati gaya di sana! Seperti yang bukan dia saja, yang betapa pendiam dan menyembunyi. Ber-uzlah di keramaian itu gila, mungkin. Bermodus saja, kau! Aneh, anneh, annnnneh.. mengapa begitu konyol laku mentalnya? Padahal dalam keseharian, ia sanggup candai perempuan yang tak dikenalnya sekalipun? Ada apa dengan santriah arqom ini??..

Padahal sejenak sebelum ini, ia berhendak menyanding mereka semua [yang semoga mengenalnya] sebagai kawan. Namun,…. ialah si “PEMIKULLAKUDIAM”, yang merengeki tangan jibril, tanpa laku nyata. Haha.. bodohnya, kau! Berjaya di angka, terpuruk di perempuan arqom ternyata! Mampus, sana!..

Kembali kita tinggalkan perempuan-perempuan ini, dan bahas kembali rel perkisahannya. Di sini, kembali ia bersua dengan Delima. Bersua dengan perempuan berperawakan pendek, tapi juga tak berani ia pandang ronanya. Entah apa yang dimalui? Padahal dalam ranah pulsa, keduanya berbahasa seperti biasa. Sejalan dengan itu, di kubu seberang sana, Delima-pun tak menyapanya seperti yang tak saling mengenal-lah mereka. Berbeda dengan beberapa kawan perempuan yang diakrabinya via Hp seperti “Uci”, dan “Is”. Apa karena laki-lah yang harus lebih dulu menyapa? Mungkin saja begitu.. semoga saja begitu..

Duga lebih jauh, apa mungkin “benar” bahwa psiche-nya Delima ini benar-benar serupa seperti dia? Delima bersikap sebiasa sikapnya pada Delima. Apa ia juga mengusung “ke-pura-pura-an” yang sama? Apa Delima ini telah mendewasa menjadi sebuah wanita? Ia kembali berspekulatif seakan mula; Mungkin saja Delima ini telah melupakan masa kanaknya yang betapa tidak masuk akal menjadi pendewa manusia yang sama sekali tak Delima kenali siapa ia. Atau mungkin, Delima ini telah berpaut pada pesona lain yang lebih nyata. Ya.. semoga saja duga penghujung ini yang bercokol dalam kebenaran absolutnya.

Semoga..

Sampai tiba saatnya mulang-pun, tak sekalipun ia tangkap rona Delima yang mana. Haha.. ini dia yang unik. Tak seperti perkisahannya dengan Ica, ‘Na, ‘tie, Lin, bahkan yang sekarang; Ima, perkisahan ini bertutur dengan yang ia tidak manau ikhwal paras yang dikisahkan ini sama sekali. Gila, mungkin Tiusman ini. Haha.. apa mungkin, sampai mati ia penasaran seperti ini? “Haha.. konyoll juga, ya..?”

:::Segenggam Refleksi:::

Akhirnya, penulis tutup perkisahan ini dengan sebongkah refleksi yang semoga jadi pecut nyata bagimu, yan, dalam menjamu hidup. Jalanmu masih panjang, semoga. Masih juga adalah kau ini hijau. Kau ini perengek, kau ini bayi. Pasti kau salah melangkah, maka perlu dipapah. Tapi biarkan saja yang salah itu salah, karena itulah jalan pendewasaanmu yang masih teramat panjang menjadi sebuah manusia bernama.. lelaki.

Delima, adalah salah satu perempuan yang diutus Sang penentu qodrat yang juga membentukmu jadi apa. Delima ini mengajarimu, jangan lupa itu! Setiap orang adalah gurumu, bahkan salah-pun adalah gurumu; yang mengajarimu apa yang sebelumnya belum kau tau. Maka berbaiklah pada mereka,,, “lalu perhatikan apa yang terjadi.. SALAM ZUPPER!!”.. hehe.. [[zupper sekali!..]]

Dari masa kanak hingga kini, belum hendak dan belum pernah ia sanding seorang perempuanpun sebagai kasihnya sama sekali. Baginya yang telah menyatu dengan filsafat kini, bukan alasan “tak ada berkasih islami”- yang diusungnya. Melainkan ia kasihi yang dikasihinya dengan tak menyandingnya”. Terlalu disayangkan jika ”hipotalamus punya yang dikasihinya” ini terlalu melulu berisikan “dia”. Ia bukan Tuhan, dan tak hendak menempati kans Tuhan dalam fikir yang dikasihinya. Ia sama sekali tak berwujud untuk disekutukan dengan Tuhan. Masih mending jika iya, yang dikasihinya ini punya waktu berkasih dengan Tuhannya sebelum mati menjelangnya. Bagaimana jika denyut nadi terakhirnya menyemburatkan nama “dia”??. Maka nanti saja ia hendak sanding perempuannya jika memang keseriusanlah yang dipunya. Aqidah ini ia dapat dari pengajaran sang qodrat tatkala ia berkisah dengan sang pesona..“lin” si embun senja, si embun hilang di luas sahara.

Juga tentang Delima, jika iya Delima ini memang dicipta dari tulang rusuknya, maka santriadi-qodrat ini akan di-lebe’i juga oleh qodrat, toh nantinya. Biarkan sejenak ia mendedikasikan jiwanya pada filsafat yang kian membimbingnya jadi manusia macam apa, tanpa mentahtai space Tuhan dalam nalarnya dengan manusia bernama perempuan. Begitupun sebaliknya, semoga mereka, perempuan yang pernah menemukan nama “dia” di hati mereka ini, memungut kesungguhan dalam masanya. Tak hendak menyandingkan “dia” dengan Tuhan, meski akal dan lisannyanya menolak itu, Ya.. jika bicara esensi, nilainya tetap saja sama bukan?..

Seperti manusia-manusia lain…… Ada masanya, dimana ia rasa butuh peneguh di saat ia jatuh, seperti di masa-masa sulit yang tiba silang menjelang. Ada masanya, dimana ia membayangkan betapa butuh ia merebah di sandaran teduh sang dikasihinya seperti di masa-masa terik pelik yang tiba silang menjelang. Ada masanya ia rasa butuh tempat berbagi ide dengan yang mengerti’i dia seperti di masa-masa pancaran yang tiba silang menjelang. Ada masanya ia rasa butuh lewan dialektika sebagai penyeimbang konsepsi nalarnya seperti di masa-masa nalar menerka hayat yang tiba silang menjelang. Ada masanya ia rasa butuh candaan dan mencandai yang dikasihinya seperti di masa-masa semi pelangi yang tiba silang menjelang Ada masanya dimana ia butuh sebagainya dan sebagainya, seperti di masa-masa ia ingat sang pesona embun yang tiba silang menjelang. Namun.. bukan itu yang dimaui Tuhannya, dirasa. Belum saja.

Belum tiba masanya, yan. Mesti kau tabuh kencang dahulu genderang filsafat, hingga ia bergeming tanpa kau tabuh. Jalanmu masih panjang, yan! Sempurnakanlah dirimu hingga “wanita yang tulang rusuk-mu” merasa pantas kau sanding nantinya sebagai tuannya. Sang qodrat masih menyediakan pakan misteri yng bergudang bagimu, yan!.. maka bersabarlah..

Terlalu banyak perempuan yang menyinggahi iganya, jika memang di akhir masa nanti, ia hanya menyanding satu perempuan saja. Maka harapnya pada Sang penentu qodrat; “semoga diberi saja para mereka ini [termasuk Delima di dalamnya], dengan bakal tuan yang jauh melebihi “dia” dari substansi wujud, nalar, dan dzaoq sebagai pembimbingnya kelak berkasih sayang dengan Tuhan, jika mereka memang benar bukan yang dia-lah untuknya”.

Semoga..

[[[lumayan tunduh oge, ning.. ____Okeh, beres we lah.. ]]]]

Kamar Kontrakan, Payuneun computer panas, tina kaayaan hujan, oge kopi nu kacida dedekan, …

16-17 April 2010.

19.47 – 00.51 WIB_Waktu Indosat Barat…

((((dipotong ka cai, tuluy ninyuh kopi 2 kali, ± 15 menit)))

*gila! 2 dinteneun, jang!?..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar