Al kisah..
Bertutur tentang dahaga seorang manusia yang sama sekali binasa. Binasa karena tersumpal dogma, terlambat akal bekerja, buta berfikir atas realita.
--------
Bedug shubuh mengetuk tulang sanggurdinya dan berkata.. ; “sadarlah!”. Manusia ini diperkenalkan sebagai “dia” yang turun dari singgasana mimpinya. Terasa ada yang lain. Sedikit berbeda. Terlalu beda. Berat.. lagi dingin merajam iga. Mungkin, tangisan awan tadi malam menuliskan angin di nadinya.
Sepi kamar menemani ia terjaga. Di sampingnya tampak semangkuk bubur tanpa kacang dan satu strip permen pait. Keduanya seolah berdendang menikmati merdunya Doel soembang nuansa pedasaan dari hometeatre tetangganya.
Layar telepon genggamnya bercerita tentang angka mirip kalender dan jam berisi 08.35 WIB. Baru saja ia menerima sapa “syafaallah” dari teman perempuannya di Tasik. Di sebuah pondok pesantren salafy di daerah terpencil di Tasik. Di tempat yang sama, ketika dulu ia berjumpa dengan alif dan iya.
Ia melirik ke kanan, matanya beradu pandang dengan serak tumpukan buku-buku yang hendak ia telan tadi malam. Pikirnya sedikit terbang; “dulu, yang ku cumbu tiap malam si Fisika dan Matematika. Dulu, penghuni rak buku itu si Sanusi, Kawakib, dan Al Bajuri. Sekarang .. yang ada berganti Logika, Filsafat Umum, Filsafat Aliran, Filsafat Islam, Membimbing ke arah Filsafat, Filsafat, Filsafat, dan Filsafat”.
Lanjutnya dalam hati, “hahaha.. FILSAFAT. Makhluk macam apa dia? Betapa angkuhnya?.. Tiap malam ku kencani, tapi tak sekalipun ia berseri dan berkata; “Baik, kini aku pacarmu..” . Mungkin, dalam beberapa hal, aku mengerti dia. Tapi mengerti, bukan faham. Mungkin sebagian teori si ini dan si itu aku hafal. Tapi hafal, bukan faham. Entahlah.. filsafat yang kata orang imtiyaz itu, .. belum terasa. Masih seperti… _Hambar.
Sampai hari kemarin ia masih seolah bermusuhan dengan filsafat. Eh, tidak. Bukan bermusuhan, tapi bersebrangan. Filsafat itu kokoh di basis kebebasan. Sedangkan ia, manusia bergumul dengan aturan dan tuntutan. Aturan dan tuntutan keluarga, masyarakat, budaya, sistem.
Chapter I : “Berjumpa dengannya, Filsafat”
Pertama kali ia dikenalkan dengan filsafat oleh beberapa akademisi berdasi semisal dosen. Entah punya otoritas apa, mereka bercerita tentang filsafat islam dan filsafat barat. Tentang si baik dan si buruk. Bertemanlah dengan si baik, jauhilah si buruk. Dan dia-lah si awam. Maka ditelannya kisah itu bulat bulat.
Dalam masa penjajakannya, dia terlanjur dikenalkan dengan prinsipium identitas-nya logika. Imbasnya, ia semakin berani mengkafirkan kawan sendiri secara sepihak dan memproklamirkan dirinya sebagai aku-lah si muslim. Tak perlu menjadi orang lain untuk untuk menjadi yang filsafat. __[Realita orang baru selalu merasa ia lebih tau tentang yang baru itu].
Kemudian berjumpa dengan kawan lama pun, hanya identitas yang disapa. Yang dibincang hanya berputar pada kelayakannya menaiki lokomotif filsafat. Mereka bilang; bagusnya dia itu bersemahyam di Fisika, Matematika, Teknik Informatika, Sastra Arab, atau apapun selain Filsafat. Seolah menyayangkan keputusannya menyandang filsafat, dan membuang sesuatu yang orang lain anggap itu potensi. Dalam sejarah silam dunia militer berseragam, dia memang serupa srigala bercakar taring. Yang menggulingkan kawan kemudian memangsa bahasa, angka dan piala. Tak jauh berbeda, ayahnya juga pernah mempertanyakan keputusan anak lakinya ini yang kian meremaja. Beliau menyayangkan sertifikat ilympiade fisika yang digantung di ruang utama.
Tapi dia-lah si remaja. Harga dirinya terlalu mahal didikte lingkungan. Ia berkilah, “Ibnu Sina itu ahli kedokteran! Dan Al Kindi itu ahlia kimia. Apa ruginya aku mengarungi kancah filsafat?..”
Tak dinyana, dalihnya memancung leher sendiri. Pikirnya, Filsafat itu serupa Fisika. Taklukan rumusnya dengan konversi, berjibaku menganalisa angka, lalu dapat nilai A. lebih dari setengah tahun dia hanya tau rumus. Tak faham konversinya. Tak tau wujud angka dalam realitas nyata. Tak mengerti apa hakikat nilai A-nya. Maka, so’ tau lah ia.
___Mampus, sana!..
Berselang batuk dan sedikit mengernyitkan dahi, dia kembali menerawang dan terbuai dalam lamunan. Terlena atas jaminan kawan bapaknya; dengan syarat jadi sarjana, ia berkesempatan mengajar mahasiswanya tentang agama di Sekolah Tinggi milik kawan bapaknya di negeri dewata. Mungkin, karena itu juga dia mengikat diri dengan segala ritual padat muatan; UIN-Al Imarat- Mengajar adik dan anak tetangga- lalu mengkaji kitab pitak bersama pamannya. Pikirnya, inilah caranya menantang diri sendiri. Pikirnya, inilah yang benar. Menjelajahi dayanya di semua fan agama, ia sami’na wa atho’na pada seru bapaknya; “jejelan pangabisa, tanjerkeun pangadaya, mempeung ngora”..
Pernah ia mengeluh “capek” pada bapaknya. Tapi imbalannya nasihat bijak sang bapak; “bukan semata bisa ini itu-nya yang kau kejar, nak. Tapi proses dalam mencari-nya. Apa bisa sabar atau tidaknya. Itu yang tuhanmu nilai. Bukan hasilnya. Maka sabarlah, karena sabar tak hanya dalam cobaan tapi juga dalam ibadah. Yakini ini patuhmu pada tuhan, maka berkahnya juga kelak kan kau tuai”. Lalu lengkung bibirnya seolah menjabarkan letupan semangatnya yang kembali.
Di kamar sepi sendiri, kini ia menyendarkan kepalanya ke dinding kamar. Masih segar dalam ingatannya, Filsafat bukan tujuannya yang utama. Dulu ia membidik Fisika dan iseng mencoret AF di point kedua. Ia sombong. Terlalu yakin merengkuh Fisika tanpa ingat ada peran sumbu Y.
Hari testing yang ia tasgir-kan pun tiba. Agama dan bahasa ia lalui tak berarti. Dalam ujian sains, seharusnya ia berada di kelas dan bertanding dengan angka. Tapi entah mengapa, ia malah bersarung berlarian menthowafi mesjid mencari celana dan tasnya yang raib tak bersisa. GILA! Di tasnya berisi ijazahnya yang SMA. Tanggapan dingin membuatnya meradang melaknat si penjaga keparat yang hanya bisa berkata.. ; ”sudahlah.. itu sudah biasa..”. Iapun terduduk membatu di beranda. lalu tentang ujiannya? Ia kalah WO di ring sains.
Wal hasil, ia terbunuh seketika. Si angkuhpun terbenam di perut bumi. Seolah Tuhan mengazabnya. Langit membencinya. Alampun jijik melihatnya. Bangkaikah ini jasad? Emosinya bergejolak. Jangan tanya reaksi keluarganya. Ia saja meludahi diri sendiri atas keputusannya meninggalkan Teknik Informatika menuju Fisika. Hengkang dari STIKOM Dewata menuju Paris van java. Akibat kesombongan, kini ia setara pengemis berijazah SMP. Hina, menurut budaya keluarganya.
Kemudian, Filsfat menyelamatkannya. Iseng penanya mencoret AF memungutnya dari kebinasaan. Sebagai makhluk binaan salafy bentukan theologi, ia bersimpulan; “ini jalan sengaja dari Tuhan. Tanpa ijazah, tak ada kuasa untuk kembali berpindah. Seolah tuhan memaksanya berjumpa dengan filsafat. Maka iapun mantap menyanding filsafat. Betapapun beralasan dengan akalnya, tetap saja ini bernama…. “TAKDIR”.
Pening yang tiba tiba, menghentikan lamunannya. Lalu dingin kembali meregang bulu roma. Maka ia pilih tenggelam dalam selimut terlelap di kesendiriannya.
Chapter II: “Fantasi berujung Gugatan”
Bruk!! Brakk!!..
Suara panci beradu lantai. Lalu lolongan kucing ku semai. .. “akh.. sialan!!”, kutuknya. Dia terbangun dari lelapnya yang entah berapa lama. Tapi kini langkahnya terasa jauh lebih enteng. Dia bangkit menghampiri roti kopyor kesukaannya. Mengambilnya di samping rak buku. Di samping buku-buku filsafat yang kini terlihat lebih rapih. Mungkin kakak perempuannya tadi merapikan ini saat ia terlelap.
Ia kembali teringat sesuatu yang sempat ia renungkan sebelum tadi terpejam sejenak. Tentang filsafat. Dan tentang ia si pemilik kasta aturan dan tuntutan. Pikirnya, keberadaannya senilai “islam KTP-nya Indonesia”. Coretan di sekre jelas ditujukan bagi spesies sepertinya. Dia-lah si filsuf yang tidak berfilsafat.
Entah apa penyulutnya, semangatnya menyembur perlahan. “sebenarnya aku juga penasaran dengan filsafat”, gumamnya. “Filsafat itu menggugat. Baik, ku gugat Filsafat!” lanjutnya.
“Filsafat itu apanya yang luar biasa? Katanya filsafat itu pondasi dasar dr semua ilmu. Mencari kebenaran, mencari tuhan. Padahal yang aku tau [sumber: om google] bedanya filsafat islam dan di luar islam itu, adalah bahwa dalam filsafat itu, “tuhan sudah ditemukan”. Lalu, apa maksudnya mencari tuhan? Mencari kebenaran? Sejauh ini, aku baru belajar filsafat umum dan aliran. Yang diributkan melulu masalah jiwa, budi, .. akh!!.. apanya yang penting? Seperti membahas yang sudah ada. Pembaharu apanya? Berbanding terbalik dengan sains yang jelas-jelas membahas kemajuan yang nyata“..
Sejauh ini, filsafat dalam benaknya tak ubah seperti hapalan dan sejarah. Dia tau, tapi tak faham. Teorinya saja yang bersesak penat di hipotalamus, tapi aplikasinya nihil. Ranah filsafat itu asing. Dia merasa aneh, sekaligus salut, kagum pada kawan-kawan kelasnya yang sedah jauh melangkah dan tenggelam di kancah filsafat. Munafik saja yang ia punya jika berbincang filsafat di kelas. Entahlah.. ia belum bisa menjamah filsafat. Apa karena terlanjur jadi manusia bentukan dogma?.. baginya, “berfikir bebas” itu momok yg menyeramkan.
Menakutkan..
Salaf sudah terlanjut mendarah daging. Bagaimana tidak, sedari umur jemari ia hidup di bawah naungan dogma salaf. Yang ia tau, bahwa fantasi, berfikir bebas, bertanya dan menggugat itu mungkin senilai zinah… Haram. Dalam konteks yang ia pahami, guru dan ilmu itu sakral. Tidak untuk digugat, tak layak didebat. Contoh nyata dalam kaidah ta’lim muta’alim saja, “bertanya pada guru itu menyimpang dari salaf yang notabene “taqdimul amal alal ilmi”. Kesemuanya dibubuhi bumbu barokah. Mungkin alasannya, bahwa ilmu itu “nadlijat wahtaraqat”.
Lalu ia teringat sesuatu tentang filsafat. Tentang perlawanan. Tentang menjadi pemberontak tatanan, mendobrak kemapanan. Dan.. mengenyampingkan keyakinan. Juga, tentang kebebasan berfantasi. “Baik, aku coba”, gumamnya mantap. Dia memejam matanya lalu mengumpulkan pertanyaan.
“Aku salaf, tapi berkencan dengan filsafat! Sedangkan keduanya bersebrangan. Apa iya bersebrangan? Aku_yang bentukan Syafi’I-Asy’ari ini apa salah langkah? Apa ini alasan [katanya] Syafi’i mengharamkan filsafat? Apa karena Asyari itu itu protagonis dan mu’tazilah itu antagonis? Atai sebaliknya? Ah.. keduanya saling menegasi. Seperti salafy dan Filsafat. Keduanya berkata akulah yang benar. Eh, tidak. Salaf berkata aku benar, dan Filsafat berkata aku mencari benar. Tapi, apa cara filsafat mencari kebenaran itu [dengan berfikir bebas tanpa tunduk pada apapun dan mengenyampingkan keyakinan] itu benar?..”
“Akh.. jadi bingung. Yang mana yang benar?..”
____Terperanjat, spontan jantungnya menbuncah. Seperti gemuruh tapal di arena pacuan kuda. Tak sengaja, tadi ia mencari yang mana yang “BENAR”. Ia menyangsikan. Mirip syak-nya imam Ghozali, mirip skeptisnya Rene Descartes.
“Oh.. jadi ini maksudnya mencari ”kebenaran”? inikah yang dimaksud dengan menyangsikan? ini yang dimaksud menggugat kembali apa-apa yang dianggap telah mapan? Apa ini yang dimaksud dengan -BERFILSAFAT-?”
Chapter III: “Dahaga”
Tak peduli apa itu definisi berfilsafat, ia terlanjur tenggelam dalam pejam kenikmatan nalar. Birahi akalnya meledak, terus fokus, terpejam mensistematika-kan masalah prinsip hidup ini. Tentang Salaf vs Filsafat. Dia mulai kembali ke alam pikirannya kamudian mengkaji apa yang ia tau tentang sistem salaf yang selama ini membentuknya.
Dulu ia pernah dengar istilah filsafat dengan nama dan forma lain. Namanya mantiq. Yang dikajinya di kitab sulam munawaraq, dan lain-lain. Kata seniornya di salaf, mantiq itu filsafat. Dia yang hijau, instan saja meyakininya. Batas pemahamannya di salaf, mantiq itu alat luar biasa di atas level fan ilmu alat, penyokong pemahaman ahkam Asy’ari-Syafi’i. Betapa tidak, kajian mantiq yang ia tau melulu masalah naqli yang diperdebatkan madzahibul arba’. Dalam pengertian lain, mantiq itu seperti wujud alat mujadalah, bertutur logika dalam dimensi lisan tentang tuhan dan ketuhanan. Baikkah itu lawannya diluar Asy’ary-Syafi’I, bahkan di luar islam itu sendiri. Maksudnya, ya.. seolah membenarkan sesuatu dengan mantiq [filsafat versi salaf]. Atau simpelnya, terasa seperti kita diwariskan keyakinan oleh guru, lalu melegalkannya dengan mantiq [filsafat]. ---ini.. agaknya mirip dengan filsafat di zaman skolastik.
Lalu, filsafat yang ia usung sekarang, apa sama dengan filsafat mantiq ala salafy? .. ah, terlalu beda. Jelas berbeda. Filsafat ini mencari kebenaran, bukan mem-benar-kan. Lalu.. apa ini merupakan tamsil nyata dari hegemoni salafy? Dan dia sebagai bukti korbannya, begitu?..
Ia semakin penasaran….
Telaah lebih jauh, dogma pengsakralan ilmu dan guru ala salafy ini, tentang pengharaman imaji transenden dan budaya mempertanyakan [yang dipakai dalam filsafat] yang sebelumnya aku usung ini, … apakah sebagai usaha untuk membunuh bibit intelektual islam bahkan sebelum dilahirkan? Mengapa? Apa benar salaf itu menentang filsafat? Tak adakah filsafat “pencari dan penggugat” dalam salaf? Memang tak semua salaf mengharamkan bertanya. Pondok pesantren Khozanaturrohmah_ajengan A’ah di Cibolerang sebagai buktinya. Tapi memang hampir semua lembaga pembibitan -mu’alim- dalam sistem pembelajarannya menafikan gugat-menggugat. Seperti Pondok pesantren Cikalama, Baitul Arqom dan ponpes-ponpes salaf maupun kholaf lain. Lalu, filsafat seperti apa yang dikaji di pondok pesantren salafy “riyadlulmantiqiyah, fi faanil manthiq” di cianjur?..
aaaarrrggghh!!.. semakin bertanya, semakin dahaga yang ku punya. Semuanya semakin tegas, sekaligus makin samar. Semakin ku ingin menjawab, semakin ku ingin bertanya. Memang tak jua kudapat mana “benar” dan “salah”nya. Tentang distinksi keduanya yang saling menegasi. Tapi, dengan ini.. sejenak terasa dia bisa bersikap bijak terhadap keduanya.
Ia membuka mata. Ia terbangun dari alam pikirannya. Gigitan pertama rati kopyor tadi belum sempat ditelannya. Ia terlalu menggila. Ia masih terkesima dengan apa yang terjadi akibat membiarkan nalarnmya ‘sedikit’ meliar nakal dengan mengenyampingkan yakinnya.
Mengerikan..
Tak sampai 1/2 jam ia merenung, untuk pertama kalin dalam hidupnya, dia menjelma pembangkang aturan. Mendurhakai kungkungan salaf yang bertahun-tahun membesarkannya. Ia mendobrak dogma salaf. Ia baru tau kenapa filsafat disebut pembangkang. Tak heran jika lingkungan memvonis yang berfilsafat sebagai murtad. Ia baru sadar arti “menggugat yang dianggap telah mapan sekalipun untuk mencari kebenaran sejati”. Apa ini yang dinamakan dengan berfilsafat?..
Chapter IV : “Injak Aku Dengan Filsafat”
Si salaf yang malang. Penakut, memang. Contoh visualnya, kepalanya saja lebih sering dihinggapi peci, kupluk atau topi. Amanat dari gurunya, itu aurat majlis. Sami’na wa atho’na, lalu disakralkan. Tidak untuk digugat, tak layak didebat.
Setengah tahun ini, dia-lah si filsuf yang tak berfilsafat. Saperti seorang iman yang kafir, seperti orang kaya yang faqir. Berada, tapi tak ada di Filsafat. Naik lokomotifnya, tapi mengingkarinya dengan mengkajinya sebatas sejarah dan hapalan teori saja. Tak pernah mencoba “memakainya” dalam mengkaji misteri segala realitas di diri dan sekitarnya. Akibat dogmanya terlanjur mendarah daging. Sepele, mungkin bagi orang lain. Tapi tidak baginya. Terlalu menakutkan baginya menjadi _durhaka. .. paling tidak, sebelum ini. Karena toh [durhaka]pun demi patuh dan sayang pada”nya”.. atau apaun yang akan terjadi padanya setelahnya.
Pun terlambat, kini ia siap mengenal kesungguhan berfilsafat, meski masih terlalu asing, dengan ranah filsafat. Biarkan dia menitinya setahap demi setahap. Dia masih hijau. Mungkin belum sepenuhnya siap jadi pemberontak, jadi yang diasingkan, jadi yang prematur.
Kepada penulis yang tak pandai menggambarkan kemelut nyata dengan pena, si “dia “ memohon sampaikan pesannya pada dunia ; …
..“INILAH AKU DENGAN SEGALA KETOLOLANKU. AKU INI PERENGEK, AKU INI BAYI. AKU INI LAMBAT. PASTIKU SALAH MELANGKAH, MAKA PERLU DIPAPAH…”
…
..
Muntahkan gelak tawamu menyaksikannya mencoba dewasa, mencoba jujur. Karena ia sadar, dengan setting sosial yang berbeda dengan tiap kamu, maka tiap kamupun punya kisah sendiri dalam proses perjumpaan dengan makhluk bernama..
…… “FILSAFAT”.
..
Tiusman Nawawy,
27 Maret 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar