Hai, alam..
Aku bocah, menyapa alam dengan segala kekerdilan. Akibat gelisah, manyelami nestapa hewan, derita pesona Tuhan yang betapa gila ia takjubi.
Perkenalkan aku, satu dari biliunan bocah langit. Asal mula ada-ku persis sama dengan musim semi di tandus afrika selatan. Ketika awan menelurkan hujan, maka aku lahir sebagai anak haram hasil persetubuhan angin dan uapan oase. Umurku tak sepanjang suburnya rumput safana, memang. Namun aku bahagia, karena ada yang seperti aku-lah, benih rumput bisa menyapa dunia dalam wujudnya yang sempurna.
Sebagai bocah, aku senang menari bersama rebana alam. Ku menari di antara rima nada decakan hujan dan lantunan seriossa kilat petir. Hanya beberapa kali dalam putaran poros bumi, aku letakan gurun di telapak kaki. Lalu sesekali ku ajak engkau, alam, kita berdansa bersama. Coba lihat, ikan-ikan bersorak ria melihat kita berdansa. Coba lihat, bison-bison tersenyum bahagia merasakan sensasi berkunjung ke Niagara di dataran tandus yang tanahnya terlalu lama merekah menganga.
Ku bersandar di pangkumu, alam. Ku berkeluh padamu, tentang dynasty alam, yang aku dimusuhi sang raja siang. Kecurangan terjadi di mana-mana. Begitupun aku, dendamku meliar bertumpuk jijik pada sosok mentari ketika dia binasakan kaumku. Aku muak! Ingin sekali ku taruh sebilah belati di lehernya.. sampai ia menangis, dan menurunkan aku lagi dalam siklus sesakral hujan.
Muak ini bukan hanya dari aku, sepertinya. Dengan ketiadaan yang serupa wujudku, Aku mendengar, sejuta anak kuda merengek sakit disengat gurun. Dahaga lantas mengintimidasi merdu kicau burung. Gembira terlalu mahal dibeli rusa di pasar daging belulang kaumnya sendiri, akibat bandrol seteguk aku, yang seharga nyawa sesekali. Di atas tanah menyala-nyala.. sejuta macam mamalia suntuk meratapi kepayahan tak kuasa bernyanyi, menari, bahkan tak sanggup sekedar menghidangkan sepiring senyuman.
Sepintas dalam kontemplasi, aku berduga busuk: “Serupa nanah borok saja kuasa si mentari ini?”.. Melulu sekali derita mereka ini, alam.. Apa engkau tak Iba melihat pesonamu menyendu? Setauku, suka mereka hanya akan berhamburan dalam riakan deras hujan, bukan dalam oven panggangan siang.
….Maka biarkan ku robek piagam qodrat alam, lalu kubunuh ganasnya mentari ini!..
Ah.. andai aku tau kantor kerja mikail, pasti ku suap saja dia supaya mengumandangkan semi sebagai madzhab tunggal iklim dunia!..
*) Pikirmu apa? Ini tentang simpatiku pada hewan? Bukan! ini tentang masalah kemiskinan negaraku sendiri. Muntahan tinta pena ini didedikasikan bagi kaum faqir di seantero Indonesia. Do’aku bersama keluh para peminta, semoga..
Ba’da Ashar beres maca Koran.
Tiusman Nawawy,
28-05-10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar