Al kisah, ..
Termalaslah seekor tikus di singgasana sesakral kursi goyang milik papa. Ini tikus seperti tikus-tikus lainnya, yang cekatan menjilati setiap remah sudut rumah. Ini tikus berganda rupa. Terlihat jijik, tapi sesekali memaksa mulutku tergenang liur. Ini tikus telanjang serupa Ayam kecap di cawan saji, yang beraroma menusuki telinga dengan irama berulang sama, “makanlah Aku!”.
Tanpa daging, ia malah berdarah tinta, bertulang pena. Lezat sekali ku porakporandakan setiap butir organ sajaknya, setelah tadi ku bius ia dengan kecupan mesra ala pujangga.
Ini tikus manis masih mendengkur di ayunan kursi goyang milik papa. Iseng, ku pindahkan ia ke mulut gapura desa supaya digilas roda. Tiba-tiba sebuah Escudo melenggang tenggadah, dan.. “brak!!”, si tikus krempeng semakin pipih saja memeluk jalan.
Aku bertepuk tangan, lalu tergirang senang melihat seni mortalitif itu. Habis senang bukan pulang, tapi malah terkejut oleh cipratan darahnya belepotan. Tangan, ko berdarah? Badan juga? Leherku buntung, malah?..
.
.
.
.
…..
…Coba, terka jeritku yang membangunkan tikus dari lelapnya di badan jalan!..
Eh, maksudku, jeritKu yang membangunkan Aku dari lelapku di badan jalan.
Eh, bukan. Maksudku, jerit tikus yang membangunkan Aku dari lelapku di badan jalan.
Segenggam mimpi reflektif,
Tiusman Nawawy,
28.05.10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar