Tadi malam, manusia bernama “dia” melayang terbang dalam gempita hening malam. Hatinya menggigil. Seperti keparatnya mengenang sesuatu yang telah hilang. Tentang kenangan, tentang lingkungan, tentang keadaan yang telah hilang.
Pedih, lagi perih. Bukan karena beberapa jam lalu Persib dikadali Persela 1-0, atau karena lantunan lagu-lagu lawas DEWA 19 yang kian mengiris ulu rasa lewat telinga di ini kamar tua.
_______
.......Beberapa hari kemarin tergerai indah. Tanpa mega kelabu, maupun jerit tangis siang. Tak sengaja Tuhan menyodorkannya momentum luar biasa: mempertemukannya dengan gadis khayalnya_sebagai penebus masa tolol kefanatikan buta atas gendernya beberapa tahun silam. Sekarang,
lamunannya berputar mengelilingi tonggak penyesalan si pemikul laku diam, yang merengeki tangan jibril tanpa laku nyata. Ia terlalu penakut. Berharap sedikit keajaiban untuk menebus bodohnya dengan diam. Seolah tak mau mnyandang udang dibalik kerang, meski dia memang tak sepatut udang.. Padahal, apa yg dimalui?.. Seperti menggelindingnya bola salju, kemelut ini berbelit makin rumit.
Siapa sangka, ujung-ujungnya tersumbat juga di muara rasa “yang betapa ia nafikan sendiri sedari pertama”. __Cinta Monyet!..__. Atau apalaah, istilahnya yang benar.
Mmmhh… ini tentang kisah kekanakan yang kembali penulis temui di rak tua milik memoricard hipotalamusnya . Bukunya usang berdebu, kini. Tapi selayak fosil, makin lalu makin sacral maknanya. Makin menyenangkan di sanjung ingatan. Menyenangkan, tapi membunuh senang.
Sebenarnya…
Seperti pejuang mati dipotong belanda, si “dia” ini lagi binasa oleh rasa..
Apa note ini sebagai pelampisannya bertutur jiwa?..
Hahaaay,,,
… menyedihkan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar