Chapter I: __”aku pulang menjemput restu”.
Tulang sanggurdiku berdebam tabuhan bedug si kulit sapi. Magrib ini tak semagrib biasa. Aku ‘membumikan langit dan melangitkan bumi’ di sebuah mesjid megah, padahal kukenal dulu ia surau tua yang dindingnya pucat meretak. Timbaan sumur dengan bunyi eretan khasnya konon sudah lama membelulang terkubur di bawah meteran PDAM. Pagar-pagar bambunya berganti kulit se-elok tralis. Terang benderang, mesjid ini ditaburi 1000 neon. Bukan lagi lampu kuning bulat yang dikelilingi lamat. Ah, pangling...
Nyaris tak kukenali mesjid ini, jika bukan karena letak merebahnya ia, juga jika bukan karena imam yang mengimaminya. Seorang bapak-bapak tinggi tegap dengan peci hitam dan tubuh dibalut sorban. Beliau, seorang yang memperkenalkan si bocah aku dengan alif dan iya. Tubuhnya tak setegap dulu, memang. Namun dengan rambut yang mengusam, kharismanya tak menenggelam malah makin menjulang terbang. Khusyuk sekali beliau memimpin ma’amimnya aurod bercinta dengan Tuhan.
Namun aurod jama’ah bukan gema tunggal di mesjid ini. Di baris belakang, masih saja terlihat santri-santri bocah mesjid ini rebut dengan kecerewetan dan candaan khas suka-suka mereka. Beberapa santri yang lebih tua berinisiatif mencoba mendiamkan mereka meski dapat dipastikan usahanya sia-sia. Sebagian bocah lain masih sempat-sempatnya main kucing-kucingan di halaman mesjid depan hingga ke dalam madrasah. Karpet di dalamnya dibuat mereka porak poranda. Kecurangan terjadi di mana-mana. Haha.. sacral sekali kekacauan ini!..
Selesai mushofahah dan meritualkan 2 tarian, aku keluar bersandar di pilar mesjid beranda depan. Segenggam darah di balik iga kiriku tersenyum menikmati keributan bocah-bocah berpeci yang berlarian. Indah sekali bising ini! Kebahagiaanku berlipat ketika kawan-kawan main gundu dan lawan main layangan dulu datang menyapaku yang betapa lama tak ada di kampung sendiri. Berselang kemudian, “pesona nirwana jatuh ke bumi” tatkala sekumpulan gadis membuka tralis gerbang mesjid bersama cekikan tawa kecil dan obrolan entah apa. Bauran kejut dan terheran-heran, 2 – 3 orang dari mereka menyapa nama hamba yang kebingungan. Sisanya bermuka serupa bingungku. Siapa sangka, ada juga yang masih kenaliku yang jauh berganti muka! Sialnya, lagi-lagi pangling menerka hamba. Tunggu!! Ini, .. siapa mereka ini?.. jika dugaku tak salah terka,.. mereka ini kawan-kawanku dulu yang beringus semua, toh!?.. hoho.. GILA!! Datang ke dukun mana bisa punya muka cantik-cantik begitu??..
Ba’da tawa spontan, kami nikmati nostalgia candaan di masa kecil yang betapa lama tak ada. Sayangnya, candaan manula ini dipaksa usai ketika terlihat 4 orang lelaki berpeci keluar dari pintu mesjid memasuki madrasah. Deheman sang Imam tadi ketika membuka pintu ibarat bel sekolah tanda pengajian dimulai. Aku, yang sebelum magrib ini sudah berkunjung ke rumah beliau beruntung sekali diberi izin buat mengkaji si kitab pitak bersama beliau, bersama kawan. Dalam ritual “mecak”, menaburi rambut di kepala sang kitab, semoga kami setara. Tak ada yang disudutkan, tak ada yang dielu’kan.
Chapter II: __”pilih durhaka atau binasa!”
Coba tebak, sewangi melati apa bahagiaku menatap rona beliau. Betapa kurindui suaramu, hey pak tua, dalam situasi mengaji begini. Ternyata wujudku serupa musafir, kini. Yang meremaja dalam dekapan asrama sana sini. Pemulung ilmu dari macam guru tentang itu ini. Siapa sangka, tau-tau sekarang berada di lokomotif yang tak sama dengan kau, suhu?
Pandanganku sendu tapi kosong menatap beliau. Telinga aku masih panas mendengar kata-kata beliau tadi ashar.
…ba’da ashar tadi, qodrat mengguratkan kalam tentangku dan guruku yang mulai berpisah faham. Kupastikan ini ujian keduaku; harus bertabrakan prinsip dengan guru, setelah tumbukan pertamaku dengan diri sendiri. Ini mulai terlihat dariku, yang tadi datang mengerjakan ritualku minta restu guru. Kali ini, aku minta petuah guru antaraku yang membidik mantiq di senggang utlah kuliah. Pilih Cianjur atau Tasik? Ciranjang – Gunung Halu, atau jamanis – bunut? Tapi bukannya restu yang kupungut, malah kritik yang menghujam. Terhitung saja, beliau ini dengan lantangnya mengharamkan filsafat tanpa menau, muridnya ini dijumpakan Qodrat dengan kastil se-angker Filsafat.
Gurunya lalu bertutur tentang apa-apa yang beliau sangkakan dengan filsafat. Bahasa-bahasa beliau ini mirip isi tahafutulfalasifah-nya Al-Ghazali. Dugaku makin terasa benar ketika beliau bercerita tentang yang gara-gara filsafat, katanya ada 20 tahafutunnatijah falaisuf dulu, yang mana 3 diantaranya mentakfirkan diri sendiri. Lanjut beliau, “tina qodimna alam, yen Gamparan teu mikaweruh kana perkara juz’iyyat, tur teu ngimankeun kana yaomul ba’ats. Regepkeun, cep. Kaffir, tah!”.. ukh,.. cadas sekali cercaan beliau ini?..
Detail sekali beliau ini mengkritik filsafat. Ini itu beliau bahas. Tak berhenti di sini, baliau lalu berkisah tentang kalam. Baliau mengisahkan tentang keperkasaan Asy’ary dan mengerdilkan Mu’tazilah dengan mematahkan sendi-sendinya. Kau takkan percaya betapa menderunya penolakan guruku ini terhadap filsafat. Beberapa kaol ulama-ulama salaf terdahulu beliau ucapkan bertubi-tubi. Ngeri, aku dibuatnya. Salah satu yang ku ingat, bunyinya begini, : “man tamanthaqa, faqad tazandaqa”.. igfirullohulah, gusti!.. ya sudah ditakfir, ditadlil, dianggap zindiq pula?..
Beliau mengakhiri ceramah panjangnya dengan seolah member referensi ma’had-ma’had salaf di tasik, yang ku tau itu ber fan tasawuf. “jam’ul jawame, sulam, maknun, ngaji didieu ge kari. Ngudag naon di filsafat?..”..
Kupingku panas merekah, memang. Gatal sekali inginku tuturkan persepsiku tentang filsafat yang padahal tak sebengis dan sesalah itu. .. tapi, inilah aku, yang tradisi salaf sudah terlanjur berfusi dengan darah. Tradisi salaf itu terlalu asing dengan istilah ijdal. Porsi peranku tak lebih dari sekedar duduk tunduk menatap cangkir teh manis di ruang tamu beliau, bapak keduaku setelah suami ibuku..
Sejenak, aku sadari, betapaku terpesona pada penguasaan beliau terhadap theology asy’ary. Sayang, aku berprasangka buruk; apa benar beliau ini korban hegemoni asy’ary di Indonesia? Serupa dengan yang terjadi ketika armada Asy’ary habis-habisan menggempur filsafat dulu?..
Terlalu naif, jika kita vonis seseorang yang mengkaji filsafat akan berujung pada kekafiran. Justru banyak, yang setelah berkenalan dengan filsafat makin mantap dirinya menyanding Tuhan. Beliau yang dengan lantangnya menyerukan kritik-kritik Al-Ghazali di kitab tahafutulfalasifah, apa pernah mengkaji kitab tahafututtahafut-nya Ibnu Rusyd? Yang aku tau dari hasil percumbuanku dengan filsafat, tahafutulfalasifah-nya al-Ghazali ini bukannya mengkritik Ibnu Sina, bukan? Aku lebih cenderung menganggapnya lebih masuk akal meski belum bertemu redaksi yang benarnya bagaimana. Tapi, jika di sama-samakan dengan ulama as’ary lain seperti ibnu shalah, misalnya, dalam kitab Qishotunniza di kisahkan ibnu Shalah ini menggambarkan Ibnu Sina sebagai Syayatinul ins (bima’na syaithan ala wujudil ins_syetan dalam wujud manusia). Cadas sekali, memang bahasa-bahasa kritik ulama-ulama asy’ary ini. Tapi apa iya? Makin di terka-terka, aku malah menepuk jidat sendiri. “ukh, kaduhung, kamari teu meuli kitab milal wannihal!!” ..
Beruntung, ku jumpai prinsip filsafat yang meragukan dan menggugat dogma sekokoh beton. Filsafat mengajariku untuk menjadi manusia inklusif. Bayangkan, jika kujiwakan jargon salaf, “sami’na wa atho’na”, pasti kata-kata guru tadi sore ku sakralkan kemudian ikut ku takfirkan manusia-manusia yang berfilsafat.
Chapter III: __ segenggam refleksi.
Diberi lampu merah, bukan bikin makin berhenti merangkak, malah makin penasaran berlari. Hanya saja, sadar tak sadar, itu berarti melawan dengan arus yang beliau maui.. di sisi lain, aku tak mau berfaham se-eksklusif beliau. Hebat, memang. Kagum aku dibuatnya, makin aly tempat semahyam beliau di jiwa seluruhku. Tapi bukan itu.. tak segampang itu mentakfirkan sesuatu. ..Beliau terlalu nyaris dekati khawarij menjauhi murji’ah. Di sela ceramah kritiknya, mungkin karena melihat tundukku yang terlalu kukuh, beliau mengendorkan nadinya seraya berkata begini, “pek, di ajar filsafat ai ngan ukur hayang apal mah. Ngan tong sakali-kali katutuluyan, cep. Dodojana teu ka sangka-sangka. Asa bener ku akal, singhoreng setan nu mopoho. Inget, cep! AKAL NU NGUATAN, HATE NU NYIUTAN.. ”. Akh.. masih masih banyak nilai-nilai yang dianggap kokoh, padahal misteri. Di ujung kontemplasi ini, aku dihadapkan dengan pertanyaan yang ku benci, “pilih durhaka, atau binasa?”.. APA IYA DURHAKA?..
Akh, terserah apa vonismu, Tuhan,.. yang jelas, aku bahagia masih kau beri aku waktu bersua dengan guru yang betapa kucinta ia. Di hadapanku bukan kertas-kertas berjilid IQRA lagi, memang. Dalam beberapa hal, kita tak sejalan lagi, memang. Namun hingga izrail mendekap, ku sanjung kau sebagai guru..
engkau tetap bapakku..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar