tiusman nawawy
__تيوسمان نواوي__
Selasa, 05 Oktober 2010
Sebuah Refleksi__: “DURHAKA ATAU BINASA!”
Chapter I: __”aku pulang menjemput restu”.
Tulang sanggurdiku berdebam tabuhan bedug si kulit sapi. Magrib ini tak semagrib biasa. Aku ‘membumikan langit dan melangitkan bumi’ di sebuah mesjid megah, padahal kukenal dulu ia surau tua yang dindingnya pucat meretak. Timbaan sumur dengan bunyi eretan khasnya konon sudah lama membelulang terkubur di bawah meteran PDAM. Pagar-pagar bambunya berganti kulit se-elok tralis. Terang benderang, mesjid ini ditaburi 1000 neon. Bukan lagi lampu kuning bulat yang dikelilingi lamat. Ah, pangling...
Nyaris tak kukenali mesjid ini, jika bukan karena letak merebahnya ia, juga jika bukan karena imam yang mengimaminya. Seorang bapak-bapak tinggi tegap dengan peci hitam dan tubuh dibalut sorban. Beliau, seorang yang memperkenalkan si bocah aku dengan alif dan iya. Tubuhnya tak setegap dulu, memang. Namun dengan rambut yang mengusam, kharismanya tak menenggelam malah makin menjulang terbang. Khusyuk sekali beliau memimpin ma’amimnya aurod bercinta dengan Tuhan.
Namun aurod jama’ah bukan gema tunggal di mesjid ini. Di baris belakang, masih saja terlihat santri-santri bocah mesjid ini rebut dengan kecerewetan dan candaan khas suka-suka mereka. Beberapa santri yang lebih tua berinisiatif mencoba mendiamkan mereka meski dapat dipastikan usahanya sia-sia. Sebagian bocah lain masih sempat-sempatnya main kucing-kucingan di halaman mesjid depan hingga ke dalam madrasah. Karpet di dalamnya dibuat mereka porak poranda. Kecurangan terjadi di mana-mana. Haha.. sacral sekali kekacauan ini!..
Selesai mushofahah dan meritualkan 2 tarian, aku keluar bersandar di pilar mesjid beranda depan. Segenggam darah di balik iga kiriku tersenyum menikmati keributan bocah-bocah berpeci yang berlarian. Indah sekali bising ini! Kebahagiaanku berlipat ketika kawan-kawan main gundu dan lawan main layangan dulu datang menyapaku yang betapa lama tak ada di kampung sendiri. Berselang kemudian, “pesona nirwana jatuh ke bumi” tatkala sekumpulan gadis membuka tralis gerbang mesjid bersama cekikan tawa kecil dan obrolan entah apa. Bauran kejut dan terheran-heran, 2 – 3 orang dari mereka menyapa nama hamba yang kebingungan. Sisanya bermuka serupa bingungku. Siapa sangka, ada juga yang masih kenaliku yang jauh berganti muka! Sialnya, lagi-lagi pangling menerka hamba. Tunggu!! Ini, .. siapa mereka ini?.. jika dugaku tak salah terka,.. mereka ini kawan-kawanku dulu yang beringus semua, toh!?.. hoho.. GILA!! Datang ke dukun mana bisa punya muka cantik-cantik begitu??..
Ba’da tawa spontan, kami nikmati nostalgia candaan di masa kecil yang betapa lama tak ada. Sayangnya, candaan manula ini dipaksa usai ketika terlihat 4 orang lelaki berpeci keluar dari pintu mesjid memasuki madrasah. Deheman sang Imam tadi ketika membuka pintu ibarat bel sekolah tanda pengajian dimulai. Aku, yang sebelum magrib ini sudah berkunjung ke rumah beliau beruntung sekali diberi izin buat mengkaji si kitab pitak bersama beliau, bersama kawan. Dalam ritual “mecak”, menaburi rambut di kepala sang kitab, semoga kami setara. Tak ada yang disudutkan, tak ada yang dielu’kan.
Chapter II: __”pilih durhaka atau binasa!”
Coba tebak, sewangi melati apa bahagiaku menatap rona beliau. Betapa kurindui suaramu, hey pak tua, dalam situasi mengaji begini. Ternyata wujudku serupa musafir, kini. Yang meremaja dalam dekapan asrama sana sini. Pemulung ilmu dari macam guru tentang itu ini. Siapa sangka, tau-tau sekarang berada di lokomotif yang tak sama dengan kau, suhu?
Pandanganku sendu tapi kosong menatap beliau. Telinga aku masih panas mendengar kata-kata beliau tadi ashar.
…ba’da ashar tadi, qodrat mengguratkan kalam tentangku dan guruku yang mulai berpisah faham. Kupastikan ini ujian keduaku; harus bertabrakan prinsip dengan guru, setelah tumbukan pertamaku dengan diri sendiri. Ini mulai terlihat dariku, yang tadi datang mengerjakan ritualku minta restu guru. Kali ini, aku minta petuah guru antaraku yang membidik mantiq di senggang utlah kuliah. Pilih Cianjur atau Tasik? Ciranjang – Gunung Halu, atau jamanis – bunut? Tapi bukannya restu yang kupungut, malah kritik yang menghujam. Terhitung saja, beliau ini dengan lantangnya mengharamkan filsafat tanpa menau, muridnya ini dijumpakan Qodrat dengan kastil se-angker Filsafat.
Gurunya lalu bertutur tentang apa-apa yang beliau sangkakan dengan filsafat. Bahasa-bahasa beliau ini mirip isi tahafutulfalasifah-nya Al-Ghazali. Dugaku makin terasa benar ketika beliau bercerita tentang yang gara-gara filsafat, katanya ada 20 tahafutunnatijah falaisuf dulu, yang mana 3 diantaranya mentakfirkan diri sendiri. Lanjut beliau, “tina qodimna alam, yen Gamparan teu mikaweruh kana perkara juz’iyyat, tur teu ngimankeun kana yaomul ba’ats. Regepkeun, cep. Kaffir, tah!”.. ukh,.. cadas sekali cercaan beliau ini?..
Detail sekali beliau ini mengkritik filsafat. Ini itu beliau bahas. Tak berhenti di sini, baliau lalu berkisah tentang kalam. Baliau mengisahkan tentang keperkasaan Asy’ary dan mengerdilkan Mu’tazilah dengan mematahkan sendi-sendinya. Kau takkan percaya betapa menderunya penolakan guruku ini terhadap filsafat. Beberapa kaol ulama-ulama salaf terdahulu beliau ucapkan bertubi-tubi. Ngeri, aku dibuatnya. Salah satu yang ku ingat, bunyinya begini, : “man tamanthaqa, faqad tazandaqa”.. igfirullohulah, gusti!.. ya sudah ditakfir, ditadlil, dianggap zindiq pula?..
Beliau mengakhiri ceramah panjangnya dengan seolah member referensi ma’had-ma’had salaf di tasik, yang ku tau itu ber fan tasawuf. “jam’ul jawame, sulam, maknun, ngaji didieu ge kari. Ngudag naon di filsafat?..”..
Kupingku panas merekah, memang. Gatal sekali inginku tuturkan persepsiku tentang filsafat yang padahal tak sebengis dan sesalah itu. .. tapi, inilah aku, yang tradisi salaf sudah terlanjur berfusi dengan darah. Tradisi salaf itu terlalu asing dengan istilah ijdal. Porsi peranku tak lebih dari sekedar duduk tunduk menatap cangkir teh manis di ruang tamu beliau, bapak keduaku setelah suami ibuku..
Sejenak, aku sadari, betapaku terpesona pada penguasaan beliau terhadap theology asy’ary. Sayang, aku berprasangka buruk; apa benar beliau ini korban hegemoni asy’ary di Indonesia? Serupa dengan yang terjadi ketika armada Asy’ary habis-habisan menggempur filsafat dulu?..
Terlalu naif, jika kita vonis seseorang yang mengkaji filsafat akan berujung pada kekafiran. Justru banyak, yang setelah berkenalan dengan filsafat makin mantap dirinya menyanding Tuhan. Beliau yang dengan lantangnya menyerukan kritik-kritik Al-Ghazali di kitab tahafutulfalasifah, apa pernah mengkaji kitab tahafututtahafut-nya Ibnu Rusyd? Yang aku tau dari hasil percumbuanku dengan filsafat, tahafutulfalasifah-nya al-Ghazali ini bukannya mengkritik Ibnu Sina, bukan? Aku lebih cenderung menganggapnya lebih masuk akal meski belum bertemu redaksi yang benarnya bagaimana. Tapi, jika di sama-samakan dengan ulama as’ary lain seperti ibnu shalah, misalnya, dalam kitab Qishotunniza di kisahkan ibnu Shalah ini menggambarkan Ibnu Sina sebagai Syayatinul ins (bima’na syaithan ala wujudil ins_syetan dalam wujud manusia). Cadas sekali, memang bahasa-bahasa kritik ulama-ulama asy’ary ini. Tapi apa iya? Makin di terka-terka, aku malah menepuk jidat sendiri. “ukh, kaduhung, kamari teu meuli kitab milal wannihal!!” ..
Beruntung, ku jumpai prinsip filsafat yang meragukan dan menggugat dogma sekokoh beton. Filsafat mengajariku untuk menjadi manusia inklusif. Bayangkan, jika kujiwakan jargon salaf, “sami’na wa atho’na”, pasti kata-kata guru tadi sore ku sakralkan kemudian ikut ku takfirkan manusia-manusia yang berfilsafat.
Chapter III: __ segenggam refleksi.
Diberi lampu merah, bukan bikin makin berhenti merangkak, malah makin penasaran berlari. Hanya saja, sadar tak sadar, itu berarti melawan dengan arus yang beliau maui.. di sisi lain, aku tak mau berfaham se-eksklusif beliau. Hebat, memang. Kagum aku dibuatnya, makin aly tempat semahyam beliau di jiwa seluruhku. Tapi bukan itu.. tak segampang itu mentakfirkan sesuatu. ..Beliau terlalu nyaris dekati khawarij menjauhi murji’ah. Di sela ceramah kritiknya, mungkin karena melihat tundukku yang terlalu kukuh, beliau mengendorkan nadinya seraya berkata begini, “pek, di ajar filsafat ai ngan ukur hayang apal mah. Ngan tong sakali-kali katutuluyan, cep. Dodojana teu ka sangka-sangka. Asa bener ku akal, singhoreng setan nu mopoho. Inget, cep! AKAL NU NGUATAN, HATE NU NYIUTAN.. ”. Akh.. masih masih banyak nilai-nilai yang dianggap kokoh, padahal misteri. Di ujung kontemplasi ini, aku dihadapkan dengan pertanyaan yang ku benci, “pilih durhaka, atau binasa?”.. APA IYA DURHAKA?..
Akh, terserah apa vonismu, Tuhan,.. yang jelas, aku bahagia masih kau beri aku waktu bersua dengan guru yang betapa kucinta ia. Di hadapanku bukan kertas-kertas berjilid IQRA lagi, memang. Dalam beberapa hal, kita tak sejalan lagi, memang. Namun hingga izrail mendekap, ku sanjung kau sebagai guru..
engkau tetap bapakku..
Senin, 04 Oktober 2010
" Elegi Kekinian"..
Raganya menggetas serapuh ilalang
Menggigil di pinggir dangau milik orang.
Rangup, mulutnya menyemburatkan wahyu kelabu;
“Bukan mauku berfusi dengan nestapa!
semuanya Kehendak Tuhan..
--Ususku melindih bangkai-- pun Kehendak Tuhan!!”..
Realita, Tasikmalaya.
Ngeri, 15 July ‘10
Menggigil di pinggir dangau milik orang.
Rangup, mulutnya menyemburatkan wahyu kelabu;
“Bukan mauku berfusi dengan nestapa!
semuanya Kehendak Tuhan..
--Ususku melindih bangkai-- pun Kehendak Tuhan!!”..
Realita, Tasikmalaya.
Ngeri, 15 July ‘10
mimpi indah
Al kisah, ..
Termalaslah seekor tikus di singgasana sesakral kursi goyang milik papa. Ini tikus seperti tikus-tikus lainnya, yang cekatan menjilati setiap remah sudut rumah. Ini tikus berganda rupa. Terlihat jijik, tapi sesekali memaksa mulutku tergenang liur. Ini tikus telanjang serupa Ayam kecap di cawan saji, yang beraroma menusuki telinga dengan irama berulang sama, “makanlah Aku!”.
Tanpa daging, ia malah berdarah tinta, bertulang pena. Lezat sekali ku porakporandakan setiap butir organ sajaknya, setelah tadi ku bius ia dengan kecupan mesra ala pujangga.
Ini tikus manis masih mendengkur di ayunan kursi goyang milik papa. Iseng, ku pindahkan ia ke mulut gapura desa supaya digilas roda. Tiba-tiba sebuah Escudo melenggang tenggadah, dan.. “brak!!”, si tikus krempeng semakin pipih saja memeluk jalan.
Aku bertepuk tangan, lalu tergirang senang melihat seni mortalitif itu. Habis senang bukan pulang, tapi malah terkejut oleh cipratan darahnya belepotan. Tangan, ko berdarah? Badan juga? Leherku buntung, malah?..
.
.
.
.
…..
…Coba, terka jeritku yang membangunkan tikus dari lelapnya di badan jalan!..
Eh, maksudku, jeritKu yang membangunkan Aku dari lelapku di badan jalan.
Eh, bukan. Maksudku, jerit tikus yang membangunkan Aku dari lelapku di badan jalan.
Segenggam mimpi reflektif,
Tiusman Nawawy,
28.05.10.
Termalaslah seekor tikus di singgasana sesakral kursi goyang milik papa. Ini tikus seperti tikus-tikus lainnya, yang cekatan menjilati setiap remah sudut rumah. Ini tikus berganda rupa. Terlihat jijik, tapi sesekali memaksa mulutku tergenang liur. Ini tikus telanjang serupa Ayam kecap di cawan saji, yang beraroma menusuki telinga dengan irama berulang sama, “makanlah Aku!”.
Tanpa daging, ia malah berdarah tinta, bertulang pena. Lezat sekali ku porakporandakan setiap butir organ sajaknya, setelah tadi ku bius ia dengan kecupan mesra ala pujangga.
Ini tikus manis masih mendengkur di ayunan kursi goyang milik papa. Iseng, ku pindahkan ia ke mulut gapura desa supaya digilas roda. Tiba-tiba sebuah Escudo melenggang tenggadah, dan.. “brak!!”, si tikus krempeng semakin pipih saja memeluk jalan.
Aku bertepuk tangan, lalu tergirang senang melihat seni mortalitif itu. Habis senang bukan pulang, tapi malah terkejut oleh cipratan darahnya belepotan. Tangan, ko berdarah? Badan juga? Leherku buntung, malah?..
.
.
.
.
…..
…Coba, terka jeritku yang membangunkan tikus dari lelapnya di badan jalan!..
Eh, maksudku, jeritKu yang membangunkan Aku dari lelapku di badan jalan.
Eh, bukan. Maksudku, jerit tikus yang membangunkan Aku dari lelapku di badan jalan.
Segenggam mimpi reflektif,
Tiusman Nawawy,
28.05.10.
menyapa alam..
Hai, alam..
Aku bocah, menyapa alam dengan segala kekerdilan. Akibat gelisah, manyelami nestapa hewan, derita pesona Tuhan yang betapa gila ia takjubi.
Perkenalkan aku, satu dari biliunan bocah langit. Asal mula ada-ku persis sama dengan musim semi di tandus afrika selatan. Ketika awan menelurkan hujan, maka aku lahir sebagai anak haram hasil persetubuhan angin dan uapan oase. Umurku tak sepanjang suburnya rumput safana, memang. Namun aku bahagia, karena ada yang seperti aku-lah, benih rumput bisa menyapa dunia dalam wujudnya yang sempurna.
Sebagai bocah, aku senang menari bersama rebana alam. Ku menari di antara rima nada decakan hujan dan lantunan seriossa kilat petir. Hanya beberapa kali dalam putaran poros bumi, aku letakan gurun di telapak kaki. Lalu sesekali ku ajak engkau, alam, kita berdansa bersama. Coba lihat, ikan-ikan bersorak ria melihat kita berdansa. Coba lihat, bison-bison tersenyum bahagia merasakan sensasi berkunjung ke Niagara di dataran tandus yang tanahnya terlalu lama merekah menganga.
Ku bersandar di pangkumu, alam. Ku berkeluh padamu, tentang dynasty alam, yang aku dimusuhi sang raja siang. Kecurangan terjadi di mana-mana. Begitupun aku, dendamku meliar bertumpuk jijik pada sosok mentari ketika dia binasakan kaumku. Aku muak! Ingin sekali ku taruh sebilah belati di lehernya.. sampai ia menangis, dan menurunkan aku lagi dalam siklus sesakral hujan.
Muak ini bukan hanya dari aku, sepertinya. Dengan ketiadaan yang serupa wujudku, Aku mendengar, sejuta anak kuda merengek sakit disengat gurun. Dahaga lantas mengintimidasi merdu kicau burung. Gembira terlalu mahal dibeli rusa di pasar daging belulang kaumnya sendiri, akibat bandrol seteguk aku, yang seharga nyawa sesekali. Di atas tanah menyala-nyala.. sejuta macam mamalia suntuk meratapi kepayahan tak kuasa bernyanyi, menari, bahkan tak sanggup sekedar menghidangkan sepiring senyuman.
Sepintas dalam kontemplasi, aku berduga busuk: “Serupa nanah borok saja kuasa si mentari ini?”.. Melulu sekali derita mereka ini, alam.. Apa engkau tak Iba melihat pesonamu menyendu? Setauku, suka mereka hanya akan berhamburan dalam riakan deras hujan, bukan dalam oven panggangan siang.
….Maka biarkan ku robek piagam qodrat alam, lalu kubunuh ganasnya mentari ini!..
Ah.. andai aku tau kantor kerja mikail, pasti ku suap saja dia supaya mengumandangkan semi sebagai madzhab tunggal iklim dunia!..
*) Pikirmu apa? Ini tentang simpatiku pada hewan? Bukan! ini tentang masalah kemiskinan negaraku sendiri. Muntahan tinta pena ini didedikasikan bagi kaum faqir di seantero Indonesia. Do’aku bersama keluh para peminta, semoga..
Ba’da Ashar beres maca Koran.
Tiusman Nawawy,
28-05-10
Aku bocah, menyapa alam dengan segala kekerdilan. Akibat gelisah, manyelami nestapa hewan, derita pesona Tuhan yang betapa gila ia takjubi.
Perkenalkan aku, satu dari biliunan bocah langit. Asal mula ada-ku persis sama dengan musim semi di tandus afrika selatan. Ketika awan menelurkan hujan, maka aku lahir sebagai anak haram hasil persetubuhan angin dan uapan oase. Umurku tak sepanjang suburnya rumput safana, memang. Namun aku bahagia, karena ada yang seperti aku-lah, benih rumput bisa menyapa dunia dalam wujudnya yang sempurna.
Sebagai bocah, aku senang menari bersama rebana alam. Ku menari di antara rima nada decakan hujan dan lantunan seriossa kilat petir. Hanya beberapa kali dalam putaran poros bumi, aku letakan gurun di telapak kaki. Lalu sesekali ku ajak engkau, alam, kita berdansa bersama. Coba lihat, ikan-ikan bersorak ria melihat kita berdansa. Coba lihat, bison-bison tersenyum bahagia merasakan sensasi berkunjung ke Niagara di dataran tandus yang tanahnya terlalu lama merekah menganga.
Ku bersandar di pangkumu, alam. Ku berkeluh padamu, tentang dynasty alam, yang aku dimusuhi sang raja siang. Kecurangan terjadi di mana-mana. Begitupun aku, dendamku meliar bertumpuk jijik pada sosok mentari ketika dia binasakan kaumku. Aku muak! Ingin sekali ku taruh sebilah belati di lehernya.. sampai ia menangis, dan menurunkan aku lagi dalam siklus sesakral hujan.
Muak ini bukan hanya dari aku, sepertinya. Dengan ketiadaan yang serupa wujudku, Aku mendengar, sejuta anak kuda merengek sakit disengat gurun. Dahaga lantas mengintimidasi merdu kicau burung. Gembira terlalu mahal dibeli rusa di pasar daging belulang kaumnya sendiri, akibat bandrol seteguk aku, yang seharga nyawa sesekali. Di atas tanah menyala-nyala.. sejuta macam mamalia suntuk meratapi kepayahan tak kuasa bernyanyi, menari, bahkan tak sanggup sekedar menghidangkan sepiring senyuman.
Sepintas dalam kontemplasi, aku berduga busuk: “Serupa nanah borok saja kuasa si mentari ini?”.. Melulu sekali derita mereka ini, alam.. Apa engkau tak Iba melihat pesonamu menyendu? Setauku, suka mereka hanya akan berhamburan dalam riakan deras hujan, bukan dalam oven panggangan siang.
….Maka biarkan ku robek piagam qodrat alam, lalu kubunuh ganasnya mentari ini!..
Ah.. andai aku tau kantor kerja mikail, pasti ku suap saja dia supaya mengumandangkan semi sebagai madzhab tunggal iklim dunia!..
*) Pikirmu apa? Ini tentang simpatiku pada hewan? Bukan! ini tentang masalah kemiskinan negaraku sendiri. Muntahan tinta pena ini didedikasikan bagi kaum faqir di seantero Indonesia. Do’aku bersama keluh para peminta, semoga..
Ba’da Ashar beres maca Koran.
Tiusman Nawawy,
28-05-10
Nur Heliana..
Tabuhan kulit domba
Terbalut sutra telaga irama.
Mari bersandar dan kita sulam merdu ini.
...
Hitampun yang nampak silaunya pesona gempita dendangan sastra rasul.
Lalu wangi embun turun bersama ribuan merpati di senja sahara.
Samar, cahaya di lesung pipitnya menjelma lengkung rona
Seperti purnama bersemahyam di hatinya.
Ini..
Gila!..
Bidadari macam apa dia!?..
Terbalut sutra telaga irama.
Mari bersandar dan kita sulam merdu ini.
...
Hitampun yang nampak silaunya pesona gempita dendangan sastra rasul.
Lalu wangi embun turun bersama ribuan merpati di senja sahara.
Samar, cahaya di lesung pipitnya menjelma lengkung rona
Seperti purnama bersemahyam di hatinya.
Ini..
Gila!..
Bidadari macam apa dia!?..
"Perkisahan silam.."
Tadi malam, manusia bernama “dia” melayang terbang dalam gempita hening malam. Hatinya menggigil. Seperti keparatnya mengenang sesuatu yang telah hilang. Tentang kenangan, tentang lingkungan, tentang keadaan yang telah hilang.
Pedih, lagi perih. Bukan karena beberapa jam lalu Persib dikadali Persela 1-0, atau karena lantunan lagu-lagu lawas DEWA 19 yang kian mengiris ulu rasa lewat telinga di ini kamar tua.
_______
.......Beberapa hari kemarin tergerai indah. Tanpa mega kelabu, maupun jerit tangis siang. Tak sengaja Tuhan menyodorkannya momentum luar biasa: mempertemukannya dengan gadis khayalnya_sebagai penebus masa tolol kefanatikan buta atas gendernya beberapa tahun silam. Sekarang,
lamunannya berputar mengelilingi tonggak penyesalan si pemikul laku diam, yang merengeki tangan jibril tanpa laku nyata. Ia terlalu penakut. Berharap sedikit keajaiban untuk menebus bodohnya dengan diam. Seolah tak mau mnyandang udang dibalik kerang, meski dia memang tak sepatut udang.. Padahal, apa yg dimalui?.. Seperti menggelindingnya bola salju, kemelut ini berbelit makin rumit.
Siapa sangka, ujung-ujungnya tersumbat juga di muara rasa “yang betapa ia nafikan sendiri sedari pertama”. __Cinta Monyet!..__. Atau apalaah, istilahnya yang benar.
Mmmhh… ini tentang kisah kekanakan yang kembali penulis temui di rak tua milik memoricard hipotalamusnya . Bukunya usang berdebu, kini. Tapi selayak fosil, makin lalu makin sacral maknanya. Makin menyenangkan di sanjung ingatan. Menyenangkan, tapi membunuh senang.
Sebenarnya…
Seperti pejuang mati dipotong belanda, si “dia” ini lagi binasa oleh rasa..
Apa note ini sebagai pelampisannya bertutur jiwa?..
Hahaaay,,,
… menyedihkan!
Pedih, lagi perih. Bukan karena beberapa jam lalu Persib dikadali Persela 1-0, atau karena lantunan lagu-lagu lawas DEWA 19 yang kian mengiris ulu rasa lewat telinga di ini kamar tua.
_______
.......Beberapa hari kemarin tergerai indah. Tanpa mega kelabu, maupun jerit tangis siang. Tak sengaja Tuhan menyodorkannya momentum luar biasa: mempertemukannya dengan gadis khayalnya_sebagai penebus masa tolol kefanatikan buta atas gendernya beberapa tahun silam. Sekarang,
lamunannya berputar mengelilingi tonggak penyesalan si pemikul laku diam, yang merengeki tangan jibril tanpa laku nyata. Ia terlalu penakut. Berharap sedikit keajaiban untuk menebus bodohnya dengan diam. Seolah tak mau mnyandang udang dibalik kerang, meski dia memang tak sepatut udang.. Padahal, apa yg dimalui?.. Seperti menggelindingnya bola salju, kemelut ini berbelit makin rumit.
Siapa sangka, ujung-ujungnya tersumbat juga di muara rasa “yang betapa ia nafikan sendiri sedari pertama”. __Cinta Monyet!..__. Atau apalaah, istilahnya yang benar.
Mmmhh… ini tentang kisah kekanakan yang kembali penulis temui di rak tua milik memoricard hipotalamusnya . Bukunya usang berdebu, kini. Tapi selayak fosil, makin lalu makin sacral maknanya. Makin menyenangkan di sanjung ingatan. Menyenangkan, tapi membunuh senang.
Sebenarnya…
Seperti pejuang mati dipotong belanda, si “dia” ini lagi binasa oleh rasa..
Apa note ini sebagai pelampisannya bertutur jiwa?..
Hahaaay,,,
… menyedihkan!
Langganan:
Postingan (Atom)